SENGKETA Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) terhadap hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2024 yang saat ini sedang bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK), memunculkan diskusi dan perdebatan sangat bermutu sebagai bagian dari pendidikan hukum dan demokrasi bagi warga negara.
Sejak model pemilihan langsung diterapkan dalam Pilpres di Indonesia, bisa dikatakan inilah sengketa Pilpres yang paling banyak mendapat sorotan publik, bahkan sebelum perkara PHPU tersebut didaftarkan ke MK.
Berbagai bentuk dugaan pelanggaran Pemilu yang didalilkan para Pemohon di antaranya politisasi bantuan sosial (Bansos), penyalahgunaan kekuasaan oleh pemerintah, sampai yang paling banyak disinggung terkait keikutsertaan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden mendampingi Prabowo Subianto, menjadi percakapan (diskursus) utama yang mendominasi jalannya persidangan.
Diskursus yang menarik lebih lanjut dalam persidangan adalah, para Pemohon yang terdiri dari pasangan calon 01 dan 03 kompak untuk sama-sama menggugah Mahkamah dalam memeriksa dan mengadili perkara ini agar menerapkan doktrin Aktivisme Yudisial (Judicial Activism).
Hal ini dianggap para Pemohon perlu untuk dilakukan, agar MK keluar dari anggapan sebagai “Mahkamah Kalkulator” yang kewenangannya hanya menilai selisih angka perolehan suara di dalam mengadili perkara PHPU selama ini.
MK hari ini memang sedang berada pada situasi yang cukup dilematis. Problematika yang timbul di masyarakat pasca-Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang batas usia Calon Presiden dan Wakil Presiden, oleh sebagian kalangan dianggap telah mendegradasi marwah Mahkamah hingga ke titik nadir.
Sehingga Mahkamah dipandang perlu untuk mengembalikan marwahnya ke posisi yang terhormat seperti semula, melalui upaya-upaya yang dapat dilakukan, termasuk melalui putusan dalam sengketa Pilpres kali ini.
Namun di sisi lain, Mahkamah dihadapkan pada situasi terkait kewenangannya di dalam memeriksa dan mengadili sengketa Pilpres yang telah dibatasi oleh Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yaitu hanya sebatas menguji sengketa hasil dari Pemilihan Umum (Pemilu) saja.
Terlebih lagi jika merujuk sengketa Pilpres yang selama ini ditangani oleh MK, belum pernah didapati sikap Mahkamah yang berubah terhadap pendiriannya terkait hal tersebut.
Walaupun pada 2019, Mahkamah sempat memeriksa dugaan pelanggaran Pemilu yang termasuk dalam sengketa proses, sebagaimana yang disampaikan oleh Charles Simabura dalam keterangan sebagai ahli yang dihadirkan Pemohon dari Paslon 03 di persidangan.
Namun hal tersebut sesungguhnya tidak cukup meyakinkan sikap Mahkamah untuk masuk mengadili sengketa proses Pemilu dalam Pilpres pada waktu itu.
Hal ini tercermin dalam pertimbangan hukum Mahkamah pada Putusan No 01/PHPU-PRES/XVII/2019 tentang sengketa Pilpres 2019 yang menegaskan kembali bahwa, sengketa proses Pemilu berada dalam ranah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
MK pernah dikenal sebagai institusi peradilan yang sering menciptakan terobosan-terobosan hukum melalui berbagai putusan monumental.
Dalam perkara pengujian undang-undang misalnya, Mahkamah melahirkan Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009 tentang penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Paspor sebagai syarat untuk menggunakan hak pilih dalam Pemilu.
Putusan No 14/PUU-XI/2013 tentang penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pilpres secara serentak.