Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Megawati Dinilai Kirim Pesan Harapan supaya MK Selisik Proses Pilpres 2024

Kompas.com - 09/04/2024, 14:36 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri dianggap mengirim pesan supaya Mahkamah Konstitusi (MK) tak terjebak dengan persoalan statistik dalam menangani sengketa hasil pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

Artikel opini Megawati ditayangkan oleh Harian Kompas pada Senin (8/4/2024) dengan judul "Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi."

Menurut Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Prof. Hamid Awaluddin, di dalam artikel itu Megawati terlihat sangat berharap supaya MK bisa melihat dugaan kecurangan dalam Pilpres 2024 dari sisi lain.

Baca juga: Opini Megawati Dianggap Bukan Buat Menekan MK

"Saya melihat secara positif bahwa dia mengharapkan Mahkamah Konstitusi itu dalam memutuskan perkara yang disengketakan sekarang ini, hasil Pemilu, tidak hanya berkutat pada angka-angka statistik. Berapa jumlah TPS yang tidak menyelenggarakan secara baik, tapi dia ingin melihat prosesnya," kata Hamid dikutip dari program Kompas Petang dari kanal YouTube Kompas TV, Selasa (9/4/2024).

Hamid juga mengutip kata-kata soal voting behaviour atau tingkah laku pemilih yang ditentukan oleh social expenditure atau alokasi bantuan buat masyarakat dari pemerintah yang disampaikan Megawati dalam artikel opini.

"Dalam konteks ini secara spesifik beliau memberi contoh adalah bantuan sosial yang bisa mempengaruhi pilihan seseorang," ujar Hamid.

Hamid juga menilai artikel itu memperlihatkan ada sesuatu yang menggelitik hati nurani dan pemikiran Megawati.

Baca juga: Rekonsiliasi Megawati-Jokowi Diyakini Sulit Terwujud, Pengamat: Bagi Mega, Jokowi adalah Bab Lama


Sedangkan kalimat "Tidak ada kekuatan yang bisa menghalangi fajar menyingsing di ufuk timur" dalam artikel opini Megawati dianggap merupakan pernyataan tidak ada satu pihak pun yang bisa menyembunyikan kebenaran.

"Maknanya adalah kebenaran itu akan terkuak. Jangan paksakan menyembunyikan kebenaran karena kebenaran yang diidentifikasi sebagai fajar itu tetap akan muncul. Hukum alam adalah fajar menyingsing di ufuk timur," ucap Hamid.

Sebelumnya diberitakan, Megawati menyinggung sejumlah hal terkait politik melalui artikel opini yang diterbitkan Harian Kompas. Dalam atribusi pada artikel, Megawati menyebut dirinya sebagai "seorang Warga Negara Indonesia."

Menurut Megawati, hakim Mahkamah Konstitusi mesti bersikap negarawan karena bertanggung jawab terhadap terciptanya keadilan substantif dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara sebagai hal yang paling utama.

Baca juga: Megawati Mau Bertemu Prabowo, Pengamat: Ia Tak Bisa Tolak Permintaan Puan

Megawati menyatakan, keadilan dalam perspektif ideologis harus dijabarkan ke dalam supremasi hukum. Budaya hukum, tertib hukum, institusionalisasi lembaga penegak hukum, dan keteladanan aparat penegak hukum menjadi satu kesatuan supremasi hukum.

"Sumpah presiden dan hakim Mahkamah Konstitusi menjadi bagian dari supremasi hukum. Namun, bagi hakim Mahkamah Konstitusi, sumpah dan tanggung jawabnya lebih mendalam dari sumpah presiden," lanjut Megawati.

Dalam tulisan opini itu Megawati juga menyampaikan presiden adalah pihak yang wajib bertanggung jawab mempraktikkan etika dalam bernegara.

"Presiden memegang kekuasaan atas negara dan pemerintahan yang sangat besar. Karena itulah penguasa eksekutif tertinggi tersebut dituntut standar dan tanggung jawab etikanya agar kewibawaan negara hukum tercipta," ucap Megawati.

Megawati juga menyatakan Presiden berdiri di atas semua golongan dan bertanggung jawab atas keselamatan seluruh bangsa dan negara.

Baca juga: Amicus Curiae Megawati Singgung Etika Presiden sampai Puncak Evolusi Kecurangan Pemilu 2024

"Segala kesan yang menunjukkan bahwa presiden memperjuangkan kepentingan sendiri atau keluarganya adalah fatal. Sebab presiden adalah milik semua rakyat Indonesia," ucap Megawati.

Megawati mengatakan, pengerahan aparatur negara dalam Pemilu buat kepentingan pihak tertentu terjadi sejak 1971.

Praktik itu, kata Megawati, berlangsung sampai 2024 yang menurutnya puncak evolusi kecurangan.

"Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi hingga bisa dikategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif (TSM)," ujar Megawati.

Megawati menyampaikan, dugaan kecurangan pada Pemilu 2024 juga diwarnai dengan motif nepotisme yang mendorong penyalahgunaan kekuasaan Presiden.

Baca juga: Ultimatum Moral Negarawan Megawati Soekarnoputri

"Nepotisme ini berbeda dengan zaman Presiden Soeharto sekalipun karena dilaksanakan melalui sistem pemilu ketika Presiden masih menjabat dan ada kepentingan subyektif bagi kerabatnya," kata Megawati.

Megawati juga mengingatkan supaya para Hakim Konstitusi yang menangani sengketa hasil Pilpres 2024 selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan.

"Oleh karena itulah, belajar dari putusan Perkara Nomor 90 di Mahkamah Konstitusi yang sangat kontroversial, saya mendorong dengan segala hormat kepada hakim Mahkamah Konstitusi agar sadar dan insaf untuk tidak mengulangi hal tersebut," papar Megawati.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

26 Tahun Reformasi, Aktivis 98 Pajang Nisan Peristiwa dan Nama Korban Pelanggaran HAM

26 Tahun Reformasi, Aktivis 98 Pajang Nisan Peristiwa dan Nama Korban Pelanggaran HAM

Nasional
Permohonan Dinilai Kabur, MK Tak Dapat Terima Gugatan Gerindra Terkait Dapil Jabar 9

Permohonan Dinilai Kabur, MK Tak Dapat Terima Gugatan Gerindra Terkait Dapil Jabar 9

Nasional
Dewas KPK Heran Dilaporkan Ghufron ke Bareskrim Polri

Dewas KPK Heran Dilaporkan Ghufron ke Bareskrim Polri

Nasional
Wapres Kunker ke Mamuju, Saksikan Pengukuhan KDEKS Sulawesi Barat

Wapres Kunker ke Mamuju, Saksikan Pengukuhan KDEKS Sulawesi Barat

Nasional
Momen Jokowi Jadi Fotografer Dadakan Delegasi Perancis saat Kunjungi Tahura Bali

Momen Jokowi Jadi Fotografer Dadakan Delegasi Perancis saat Kunjungi Tahura Bali

Nasional
Berjasa dalam Kemitraan Indonesia-Korsel, Menko Airlangga Raih Gelar Doktor Honoris Causa dari GNU

Berjasa dalam Kemitraan Indonesia-Korsel, Menko Airlangga Raih Gelar Doktor Honoris Causa dari GNU

Nasional
Nadiem Ingin Datangi Kampus Sebelum Revisi Aturan yang Bikin UKT Mahal

Nadiem Ingin Datangi Kampus Sebelum Revisi Aturan yang Bikin UKT Mahal

Nasional
Saksi Kemenhub Sebut Pembatasan Kendaraan di Tol MBZ Tak Terkait Kualitas Konstruksi

Saksi Kemenhub Sebut Pembatasan Kendaraan di Tol MBZ Tak Terkait Kualitas Konstruksi

Nasional
Puan Maharani: Parlemen Dunia Dorong Pemerintah Ambil Langkah Konkret Atasi Krisis Air

Puan Maharani: Parlemen Dunia Dorong Pemerintah Ambil Langkah Konkret Atasi Krisis Air

Nasional
Hari Ke-10 Keberangkatan Haji: 63.820 Jemaah Tiba di Madinah, 7 Orang Wafat

Hari Ke-10 Keberangkatan Haji: 63.820 Jemaah Tiba di Madinah, 7 Orang Wafat

Nasional
Jokowi: Butuh 56 Bangunan Penahan Lahar Dingin Gunung Marapi, Saat Ini Baru Ada 2

Jokowi: Butuh 56 Bangunan Penahan Lahar Dingin Gunung Marapi, Saat Ini Baru Ada 2

Nasional
Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 Bersandar di Jakarta, Prajurit Marinir Berjaga

Kapal Perang Perancis FREMM Bretagne D655 Bersandar di Jakarta, Prajurit Marinir Berjaga

Nasional
Erupsi Gunung Ibu, BNPB Kirim 16 Juta Ton Bantuan Logistik untuk 1.554 Pengungsi

Erupsi Gunung Ibu, BNPB Kirim 16 Juta Ton Bantuan Logistik untuk 1.554 Pengungsi

Nasional
Pesawat Terlambat Bisa Pengaruhi Layanan Jemaah Haji di Mekkah

Pesawat Terlambat Bisa Pengaruhi Layanan Jemaah Haji di Mekkah

Nasional
Indonesia-Vietnam Kerja Sama Pencarian Buron hingga Perlindungan Warga Negara

Indonesia-Vietnam Kerja Sama Pencarian Buron hingga Perlindungan Warga Negara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com