Sjaf (2024) menegaskan, kerugian terbesar dari situasi tersebut adalah hilangnya peluang tanggung-gugat terhadap kepala daerah.
Sebagai patron, kepala daerah yang merupakan produk dinasti politik akan percaya diri kebal kritik. Selama bisa memenuhi tuntutan klien, maka roda kekuasaan akan aman dan stabil.
Tanpa kadar tanggung-gugat dan partisipasi signifikan, maka pembangunan yang digerakkan kepala daerah potensional merupakan tafsir tunggal. Implikasinya, program dan kegiatan yang digulirkan Pemerintah Daerah rentan berujung pembangunan semu.
Jejak pembangunan semu tersebut dapat dilacak dari konteks ketidak-selarasan program dan/atau kegiatan Pemerintah Daerah dengan kebutuhan publik. Atau, justru manipulasi atau rekayasa program dan/atau kegiatan Pemerintah Daerah yang mengatasnamakan hajat publik (Sjaf, 2022).
Tidak mengherankan, daerah-daerah yang terkooptasi dinasti politik menjadi locus korupsi.
Beberapa kasus korupsi bermuatan dinasti politik yang sempat mencuat di ruang publik di antaranya Ratu Atut Chosiyah (Prov. Banten), Atty Suharty (Kota Cimahi), Rita Widyasari (Kutai Kartanegara), dan masih banyak lagi.
Kasus-kasus korupsi sistemik tersebut patut diposisikan sebagai pengingat: dinasti politik cenderung koruptif.
Secara keuangan, memang ada kerugian negara dari bocornya anggaran publik, baik akibat inefisiensi dan infektifitas maupun tindak korupsi.
Namun, ada hal yang lebih substansial dari itu, yaitu hilangnya kesempatan rakyat untuk meningkatkan taraf hidup–sebagai akibat aksi pembangunan yang tepat.
Sensitifitas demikian tidak akan ada dalam logika dan paradigma dinasti politik yang mengedepankan kalkulasi patron-klien.
Kemiskinan perlu ‘dirawat’ untuk menjaga kebersinambungan patronase. Peningkatan kesejahteraan justru membuat rakyat mandiri, sehingga tidak merasakan kontribusi patron (Yuliartiningsih & Adrison, 2022).
Menutup artikel ini, suatu waktu Goenawan Mohammad (2011) menulis, “anti-virus demokrasi bisa ditemukan, tetapi akan selalu ada virus baru. Demokrasi itu kerja dan komitmen yang tak bisa berhenti.”
Dinasti politik, saya yakin, adalah virus demokrasi yang telah dan sedang kita hadapi.
September nanti, jadwal dimulainya kampanye, Pilkada akan kembali kita sambut. Kita punya kesempatan untuk membalas dan menyudahinya. Tentu dengan syarat: menolak dan lawan!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.