Salin Artikel

Menyambut Pilkada: Dinasti Politik dan Klientelisme

Sebagai pengingat, bersamaan dengan gegap gempita dan euphoria, demokrasi lokal dihadapkan dengan paradoks yang bukan lagi rahasia: dinasti politik dan klientelisme.

Lukman Hakim (2024) menyoroti kemunduran praksis demokrasi Indonesia, lebih khusus di arena lokal. Otonomi daerah yang mestinya mampu menjaga keberlanjutan demokrasi (sekaligus demokratisasi), justru tergelincir kepada kontradiksi-kontradiksi: dari mulai terbentuknya elite-elite lokal baru hingga kemunculan dinasti politik yang tersebar di banyak daerah di Indonesia.

Fenomena demikian menguatkan sinyalemen bahwa laju demokrasi Indonesia hingga saat ini masih beredar di poros prosedural–ketimbang substantif seperti yang dicita-citakan (Hakim, 2024).

Perspektif kritis tersebut diperkuat studi lain. Secara kasuistis, penelitian Yuliartiningsih dan Adrison (2022) terkait perhelatan Pilkada di rentang waktu 2017-2020, mengkontraskan eksistensi dinasti politik yang tersebar di banyak daerah di Indonesia.

Beberapa temuan penting dari studi ini, antara lain: pertama, dari total sebaran 508 kabupaten/kota yang menyelenggarakan Pilkada di rentang waktu 2017-2020, terdapat 247 (48,6 persen) kabupaten/kota yang terindikasi muatan dinasti politik.

Kedua, persentase kemenangan kandidat dinasti politik di arena Pilkada sangat signifikan. Kesimpulan tersebut berbasis temuan pertarungan Pilkada di 170 dari 247 kabupaten/kota terindikasi dinasti politik (69 persen) berbuah kemenangan.

Fragmen realitas politik tersebut lebih dari cukup untuk memvalidasi keberadaan dinasti politik. Bahwa ia bukan rumor atau isapan jempol. Bukan pula anomali.

Alih-alih, dinasti politik semakin mapan berpola: dioperasikan dan dilegitimasi melalui arena elektoral. Tepat bila Prof. Siti Zuhro menyebutnya sebagai neo-patrimonial (Kompas, 2023). Politik keluarga gaya baru. ‘Rasa’ monarki di tengah konstruksi demokrasi.

Dinasti politik yang menjalar di banyak daerah di Indonesia berkait kelindan dengan praktik klientelisme.

Dalam skema elektoral, pelanggengan kekuasaan di lingkup keluarga tidak akan terjadi tanpa pemenuhan syarat-syarat prosedural.

Sekurang-kurangnya, ada dua syarat penting, yaitu (1) partai politik sebagai instrumen kontestasi politik dan (2) pemilih yang menentukan kemenangan di arena Pilkada.

Pola klientelisme yang mensyaratkan relasi patron-klien (tuan dan hamba: pen) terbentuk di dua aras tersebut. Pola relasi demikian tentu saja timpang dan semu.

Aktor dinasti mewakili pihak yang memiliki keberlimpahan: akses, modal, kuasa, dan lainnya. Sementara, aktor di luar pusaran dinasti mewakili pihak yang lemah dan subordinat.

Sehingga, ketimbang partisipatif, konsekuensi yang tercipta adalah relasi transaksional yang dimulai sejak awal. Transaksi itu bisa dalam bentuk beragam, entah distribusi jabatan, proyek, atau siraman uang untuk ‘membeli' suara.

Pembangunan semu, korupsi, dan jerat kemiskinan

Sjaf (2024) menegaskan, kerugian terbesar dari situasi tersebut adalah hilangnya peluang tanggung-gugat terhadap kepala daerah.

Sebagai patron, kepala daerah yang merupakan produk dinasti politik akan percaya diri kebal kritik. Selama bisa memenuhi tuntutan klien, maka roda kekuasaan akan aman dan stabil.

Tanpa kadar tanggung-gugat dan partisipasi signifikan, maka pembangunan yang digerakkan kepala daerah potensional merupakan tafsir tunggal. Implikasinya, program dan kegiatan yang digulirkan Pemerintah Daerah rentan berujung pembangunan semu.

Jejak pembangunan semu tersebut dapat dilacak dari konteks ketidak-selarasan program dan/atau kegiatan Pemerintah Daerah dengan kebutuhan publik. Atau, justru manipulasi atau rekayasa program dan/atau kegiatan Pemerintah Daerah yang mengatasnamakan hajat publik (Sjaf, 2022).

Tidak mengherankan, daerah-daerah yang terkooptasi dinasti politik menjadi locus korupsi.

Beberapa kasus korupsi bermuatan dinasti politik yang sempat mencuat di ruang publik di antaranya Ratu Atut Chosiyah (Prov. Banten), Atty Suharty (Kota Cimahi), Rita Widyasari (Kutai Kartanegara), dan masih banyak lagi.

Kasus-kasus korupsi sistemik tersebut patut diposisikan sebagai pengingat: dinasti politik cenderung koruptif.

Secara keuangan, memang ada kerugian negara dari bocornya anggaran publik, baik akibat inefisiensi dan infektifitas maupun tindak korupsi.

Namun, ada hal yang lebih substansial dari itu, yaitu hilangnya kesempatan rakyat untuk meningkatkan taraf hidup–sebagai akibat aksi pembangunan yang tepat.

Sensitifitas demikian tidak akan ada dalam logika dan paradigma dinasti politik yang mengedepankan kalkulasi patron-klien.

Kemiskinan perlu ‘dirawat’ untuk menjaga kebersinambungan patronase. Peningkatan kesejahteraan justru membuat rakyat mandiri, sehingga tidak merasakan kontribusi patron (Yuliartiningsih & Adrison, 2022).

Menutup artikel ini, suatu waktu Goenawan Mohammad (2011) menulis, “anti-virus demokrasi bisa ditemukan, tetapi akan selalu ada virus baru. Demokrasi itu kerja dan komitmen yang tak bisa berhenti.”

Dinasti politik, saya yakin, adalah virus demokrasi yang telah dan sedang kita hadapi.

September nanti, jadwal dimulainya kampanye, Pilkada akan kembali kita sambut. Kita punya kesempatan untuk membalas dan menyudahinya. Tentu dengan syarat: menolak dan lawan!

https://nasional.kompas.com/read/2024/03/26/14082381/menyambut-pilkada-dinasti-politik-dan-klientelisme

Terkini Lainnya

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Gubernur Maluku Utara Nonaktif Diduga Cuci Uang Sampai Rp 100 Miliar Lebih

Nasional
Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Cycling de Jabar Segera Digelar di Rute Anyar 213 Km, Total Hadiah Capai Rp 240 Juta

Nasional
Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Hindari Konflik TNI-Polri, Sekjen Kemenhan Sarankan Kegiatan Integratif

Nasional
KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

KPK Tetapkan Gubernur Nonaktif Maluku Utara Tersangka TPPU

Nasional
Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Soal Kemungkinan Duduki Jabatan di DPP PDI-P, Ganjar: Itu Urusan Ketua Umum

Nasional
Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Kapolda Jateng Disebut Maju Pilkada, Jokowi: Dikit-dikit Ditanyakan ke Saya ...

Nasional
Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Jokowi dan Prabowo Rapat Bareng Bahas Operasi Khusus di Papua

Nasional
Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Kemenhan Ungkap Anggaran Tambahan Penanganan Papua Belum Turun

Nasional
PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

PAN Minta Demokrat Bangun Komunikasi jika Ingin Duetkan Lagi Khofifah dan Emil Dardak

Nasional
Tanggapi Ide 'Presidential Club' Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Tanggapi Ide "Presidential Club" Prabowo, Ganjar: Bagus-bagus Saja

Nasional
6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

6 Pengedar Narkoba Bermodus Paket Suku Cadang Dibekuk, 20.272 Ekstasi Disita

Nasional
Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Budiman Sudjatmiko: Bisa Saja Kementerian di Era Prabowo Tetap 34, tetapi Ditambah Badan

Nasional
PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

PAN Ungkap Alasan Belum Rekomendasikan Duet Khofifah dan Emil Dardak pada Pilkada Jatim

Nasional
Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Prabowo Hendak Tambah Kementerian, Ganjar: Kalau Buat Aturan Sendiri Itu Langgar UU

Nasional
Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Tingkatkan Pengamanan Objek Vital Nasional, Pertamina Sepakati Kerja Sama dengan Polri

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke