"Tidak ada demokrasi tanpa keinsafan politik dari masyarakat," kata Hatta dalam bukunya Demokrasi Kita.
Dalam buku yang sama, Hatta pun mengatakan, “demokrasi yang tidak kenal batas kemerdekaannya, lupa syarat hidupnya, dan melulu menjadi anarki lambat laun akan digatikan oleh diktator.”
Pendidikan politik pernah dilakukan pada zaman pra-kemerdekaan yang dilakukan oleh berbagai partai politik yang muncul pada waktu itu seperti PNI, Partindo, dan lain-lain sebagaimana dikisahkan oleh Ali Sastroamidjoyo dalam bukunya Tonggak-Tonggak di Perjalananku.
Pada waktu itu, partai politik berlomba menyadarkan masyarakat tentang pentingnya terlibat dalam bidang politik yang saat itu terfokus pada upaya meraih kemerdekaan Indonesia.
Jangan dikira pada waktu itu seluruh masyarakat sepakat tentang ide kemerdekaan Indonesia, malah terhadap kata “Indonesia” masih banyak masyarakat yang tidak mengerti, maka kewajiban partai politiklah untuk mendidik rakyat pada waktu itu.
Setelah Indonesia merdeka sampai saat ini pendidikan politik ditinggalkan oleh partai politik dan juga institusi politik lainnya.
Akibatnya adalah masyarakat jadi tuna kesadaran politik dan keadaan ini dimanfaatkan oleh para aktor untuk menjalankan politik praktis sebagai jalan pintas untuk meraih kekuasaan.
Praktik demokrasi yang berlangsung di Indonesia masih bersifat formalitas dan seremonial berupa penyelenggaran Pemilu secara reguler. Demokrasi yang sehat sejatinya bermakna penumbuhan kepercayaan masyarakat terhadap pejabat pemerintah yang mereka pilih.
Kenyataannya, modal politik itu masih sangat rendah, bila kita perhatikan goncangan politik yang masih kerap terjadi pascapemilu atau pilkada.
Rakyat merasa para elite pemerintahan lebih sibuk memperjuangkan kepentingan diri sendiri atau golongan daripada memedulikan kepentingan umum.
Suara rakyat hanya dihargai setiap lima tahun sekali, itupun dengan nilai yang sangat murah. Akibatnya mereka tak punya hak kontrol yang efektif dan daya tawar lemah.
Kondisi yang sama juga terlihat keterwakilan angota parlemen, karena kepentingan yang mereka teriakan dan perjungkan ternyata jauh dari kebutuhan masyarakat.
Pejabat eksekutif dan anggota legislatif seperti mengidap penyakit autis secara kolektif, dan politik dikendalikan oleh orang-rang yang mengidap psikopat.
Dalam tataran elite, maraknya fenomena koalisi politik yang labil menandai saling percaya yang rendah di antara kekuatan politik yang berpengaruh.
Koalisi dan kerja sama politik lebih dimaksudkan meraih posisi pribadi ketimbang mengembangkan sistem yang kokoh demi pelayanan prima terhadap masyarakat.