Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hak Angket Kecurangan Pemilu, Mungkinkah Berujung Pemakzulan Jokowi?

Kompas.com - 25/02/2024, 05:15 WIB
Fitria Chusna Farisa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana penggunaan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024 semakin kuat berembus.

Wacana itu pertama kali diusulkan oleh kubu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) nomor urut 3 Ganjar Pranowo-Mahfud MD.

Ganjar mendorong dua partai politik pengusungnya pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, PDI Perjuangan dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menggunakan hak angket di DPR. Menurutnya, DPR tidak boleh diam terhadap dugaan kecurangan pemilu yang sudah terang-terangan.

"Dalam hal ini, DPR dapat memanggil pejabat negara yang mengetahui praktik kecurangan tersebut, termasuk meminta pertanggung jawaban KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) selaku penyelenggara Pemilu," kata Ganjar dalam keterangannya, Senin (19/2/2024).

Usulan itu disambut oleh kubu pasangan capres-cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Tiga partai politik pengusung Anies-Muhaimin, Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), setuju untuk menggunakan hak angket.

“Kami ketemu dan membahas langkah-langkah dan kami solid karena itu saya sampaikan, ketika insiatif hak angket itu dilakukan maka tiga partai ini siap ikut," kata Anies saat ditemui di Kantor THN Anies-Muhaimin Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Selasa (20/2/2024).

Baca juga: Jusuf Kalla Anggap Hak Angket Kecurangan Pemilu Untungkan Semua Pihak

Bertolak belakang, kubu pasangan capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, tak setuju dengan penggunaan hak angket. Dewan Pengarah Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Yusril Ihza Mahendra, menilai, hak angket dapat menimbulkan kekacauan.

Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) itu justru menduga, hak angket merupakan bagian dari upaya untuk memakzulkan Presiden Joko Widodo. Memang, belum lama ini sempat mencuat wacana pemakzulan terhadap Kepala Negara.

“Kalau niatnya mau memakzulkan Jokowi, hal itu akan membawa negara ini ke dalam jurang kehancuran. Proses pemakzulan itu memakan waktu relatif panjang, dimulai dengan angket seperti mereka rencanakan dan diakhiri dengan pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden telah melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 7B UUD 45," kata Yusril saat dimintai konfirmasi, Kamis (22/2/2024).

Meski jadi perbincangan hangat, hak angket masih jadi wacana. Hingga saat ini, belum ditempuh mekanisme resmi mengenai penggunaan hak tersebut untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu.

Apa itu hak angket?

Hak angket sendiri merupakan salah satu dari tiga hak istimewa yang dimiliki oleh DPR. Menurut Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 20A ayat (2), dalam melaksanakan fungsinya, DPR memiliki tiga hak yang terdiri dari hak angket, hak interpelasi, dan hak menyatakan pendapat.

Perihal tiga hak istimewa DPR tersebut diatur lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3).

Baca juga: Soal Hak Angket, Timnas Amin: Ini Bukan soal Kalah Menang, tapi Berjuang Luruskan Praktik Bernegara

Menurut Pasal 79 ayat (3) UU MD3, hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Syarat penggunaan hak angket diatur Pasal 199 UU MD3 sebagai berikut:

  • Diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan lebih dari satu fraksi;
  • Pengusulan hak angket disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit: (a) materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan (b) alasan penyelidikan;
  • Hak angket DPR dapat digunakan apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari setengah (½) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari setengah (½) jumlah anggota DPR yang hadir.

Apabila usul penggunaan hak angket diterima, DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket, yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi DPR. Namun, jika DPR menolak penggunaan hak angket, usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.

Dalam melaksanakan hak angket, panitia khusus berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.

Penggunaan hak angket

Dalam catatan Kompas.id, selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo atau sejak 2014, DPR baru sekali menggunakan hak angket, yakni pada 2017. Hak itu bukan digunakan terhadap kebijakan pemerintah, melainkan terhadap kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Penggunaan hak angket ini buntut dari penolakan KPK atas permintaan Komisi III DPR RI untuk membuka rekaman Miryam S Haryani, anggota DPR yang menjadi tersangka dalam pemberian keterangan palsu dalam kasus korupsi pengadaan KTP elektronik.

Sementara, menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang dikutip dari Kompas.id, pada dua periode masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2004 hingga 2014, hak angket digunakan sebanyak 16 kali. Hak tersebut dipakai untuk mempersoalkan sejumlah kebijakan pemerintah yang bersifat strategis, penting, dan berdampak luas.

Beberapa di antaranya, yakni, hak angket untuk menyelidiki kebijakan Pertamina terkait penjualan dua tanker ukuran sangat besar (very large crude carrier/VLCC), hak angket skandal Bank Century, lalu hak angket atas kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).

Hak angket masa pemerintahan SBY juga pernah dipakai untuk menyelidiki penyelenggaraan ibadah haji pada tahun 2008 yang dinilai sangat buruk. Lalu, tahun 2009, hak angket digunakan untuk mengurai kesemrawutan daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilu 2009.

Pintu masuk pemakzulan?

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Sebelas Maret, Agus Riewanto, mengatakan, hak angket pada prinsipnya merupakan hak institusional DPR untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Objeknya berupa kebijakan pemerintah yang strategis dan berpengaruh terhadap masyarakat, yang diduga melanggar peraturan perundang-undangan.

Sementara, pemilu bukan merupakan kerja pemerintah. Pemilu diselenggarakan oleh lembaga independen bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Baca juga: Soal Wacana Hak Angket Kecurangan Pemilu 2024, AHY Sebut Tidak Ada Urgensi

Oleh karenanya, jika hak angket ditujukan ke pemerintah, DPR akan menyelidiki kerja-kerja dan kegiatan pemerintah yang menyangkut pemilu, bukan terkait penyelenggaraan pemilu itu sendiri.

Agus menerangkan, hasil dari hak angket berupa rekomendasi. Misalnya, rekomendasi untuk memperbaiki hal-hal yang dilanggar oleh eksekutif, bisa juga berupa teguran tertulis.

“Sehingga hak angket ini kan ranahnya politik. Makanya sering disebut sebagai right of impeachment (hak memakzulkan), jadi semacam meng-impeach (memakzulkan) tindakan pejabat publik dalam jabatan,” kata Agus kepada Kompas.com, Sabtu (24/2/2024).

Agus menjelaskan, hak angket tidak dapat memengaruhi hasil pemilu. Sebab, menurut ketentuan konstitusi, kewenangan untuk menangani perselisihan hasil pemilu berada di Mahkamah Konstitusi (MK).

“Pembatalan, penghitungan ulang soal pemilu itu ranahnya di Mahkamah Konstitusi, bukan ranah politik. Jadi pembatalan pemilu itu hanya bisa dilakukan menurut ranah hukum, bukan ranah politik. Hak angket dan seterusnya di DPR itu ranah politik,” ujar Agus.

Sementara, terkait pemakzulan terhadap Presiden, Agus bilang bahwa itu hal yang berbeda. Hak angket berada di ranah hukum, sementara pemakzulan Presiden masuk ke aspek hukum dan politik.

Baca juga: Jimly Sebut Hak Angket Gertakan, Hidayat Nur Wahid: Itu Hak Konstitusional DPR

Menurut Undang-Undang Dasar 1945, seorang Presiden dapat dimakzulkan jika memenuhi sejumlah syarat. Misalnya, jika Presiden melakukan tindak pidana, perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden.

Agus menilai, sulit untuk mengaitkan hak angket dengan upaya pemakzulan terhadap Kepala Negara. Sebab, penyelidikan melalui hak angket berbeda dengan syarat-syarat pemakzulan.

“Pertanyaannya, kalau hak angket itu kegiatan eksekutif atau kebijakan eksekutif yang melanggar peraturan perundang-undangan, aspek mana yang bisa nyambung dengan syarat yang ditentukan di konstitusi tadi? Itu sesuatu yang berbeda,” kata Agus.

“Salah satu syarat untuk pemakzulan itu kan mesti disambungkan dulu apakah ada hubungannya dengan syarat-syarat yang dicantumkan di konstitusi,” ujarnya.

Lagi pula, lanjut Agus, pemakzulan Presiden bukan hal sederhana. Prosesnya panjang, melibatkan banyak pihak, dan memakan waktu lama.

Namun, dia menyebut, jika saja DPR menggunakan hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan Pemilu 2024, wacana dan alasan pemakzulan terhadap Presiden dapat menguat.

“Menurut saya itu bisa saja terjadi kalau arah politiknya mau ke sana (hak angket bagian dari upaya pemakzulan Presiden). Tapi kan sekali lagi konstitusi sudah memagari itu, bagaimana syarat-syarat untuk melakukan pemakzulan Presiden kan tidak sederhana,” tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Lapor Hasil Rakornas PAN ke Presiden, Zulhas: Pak Jokowi Owner

Lapor Hasil Rakornas PAN ke Presiden, Zulhas: Pak Jokowi Owner

Nasional
Budiman Sudjatmiko Pastikan Tak Ada “Deadlock” Pertemuan Prabowo dan Megawati

Budiman Sudjatmiko Pastikan Tak Ada “Deadlock” Pertemuan Prabowo dan Megawati

Nasional
Kode PAN soal Jatah Menteri ke Prabowo, Pengamat: Sangat Mungkin Dapat Lebih

Kode PAN soal Jatah Menteri ke Prabowo, Pengamat: Sangat Mungkin Dapat Lebih

Nasional
Pengamat Usul Anggota BPK Diseleksi Panitia Independen Agar Tak Dimanfaatkan Parpol

Pengamat Usul Anggota BPK Diseleksi Panitia Independen Agar Tak Dimanfaatkan Parpol

Nasional
KPU Tak Masalah Caleg Terpilih Dilantik Belakangan Usai Kalah Pilkada

KPU Tak Masalah Caleg Terpilih Dilantik Belakangan Usai Kalah Pilkada

Nasional
Zulhas: Katanya PAN Cuma Bisa Joget-joget, Eh Capres yang Menang Bisa Joget

Zulhas: Katanya PAN Cuma Bisa Joget-joget, Eh Capres yang Menang Bisa Joget

Nasional
Prabowo Bilang Ada Partai Klaim Sosok Bung Karno, Budiman Sudjatmiko: Bukan Diskreditkan PDI-P

Prabowo Bilang Ada Partai Klaim Sosok Bung Karno, Budiman Sudjatmiko: Bukan Diskreditkan PDI-P

Nasional
Ketua KPU: Caleg Terpilih Tak Perlu Mundur jika Maju Pilkada 2024

Ketua KPU: Caleg Terpilih Tak Perlu Mundur jika Maju Pilkada 2024

Nasional
Zulhas dan Elite PAN Temui Jokowi di Istana, Mengaku Tak Bahas Kursi Kabinet

Zulhas dan Elite PAN Temui Jokowi di Istana, Mengaku Tak Bahas Kursi Kabinet

Nasional
Demokrat Tak Khawatir Jatah Kursi Menteri, Sebut Prabowo Kerap Diskusi dengan SBY

Demokrat Tak Khawatir Jatah Kursi Menteri, Sebut Prabowo Kerap Diskusi dengan SBY

Nasional
PAN Lempar Kode soal Jatah Menteri, Demokrat: Prabowo yang Punya Hak Prerogatif

PAN Lempar Kode soal Jatah Menteri, Demokrat: Prabowo yang Punya Hak Prerogatif

Nasional
Zulhas Bawa 38 DPW PAN Temui Jokowi: Orang Daerah Belum Pernah ke Istana, Pengen Foto

Zulhas Bawa 38 DPW PAN Temui Jokowi: Orang Daerah Belum Pernah ke Istana, Pengen Foto

Nasional
Golkar, PAN dan Demokrat Sepakat Koalisi di Pilkada Kabupaten Bogor

Golkar, PAN dan Demokrat Sepakat Koalisi di Pilkada Kabupaten Bogor

Nasional
Ajakan Kerja Sama Prabowo Disebut Buat Membangun Kesepahaman

Ajakan Kerja Sama Prabowo Disebut Buat Membangun Kesepahaman

Nasional
Kubu Prabowo Ungkap Dirangkul Tak Berarti Masuk Kabinet

Kubu Prabowo Ungkap Dirangkul Tak Berarti Masuk Kabinet

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com