"Ini lah yang dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang surat suara itu tadi. Mereka memang sengaja mencari dari kotak pos satu, ke kotak pos yang lainnya, akhirnya dari satu, dua, 9, 10 sampai terkumpul banyak (surat suara)," ungkap staf Migrant CARE lainnya, Muhammad Santosa, dalam kesempatan yang sama.
Baca juga: KPU Pelajari Temuan Migrant Care 3.238 Pemilih Terdaftar Ganda di Johor Bahru
Modus para pedagang surat suara, kata dia, mereka bakal bergerak setelah mengetahui surat suara dikirim melalui jasa ekspedisi ke kotak pos tujuan.
"Mereka kerjanya tim, tidak sendiri-sendiri; di daerah mana, siapa, di daerah mana, siapa," ujar dia.
Mereka akan memanfaatkan lemahnya pengawasan. Apalagi, panitia pengawas luar negeri (panwas LN) tak punya pengawas pos.
Setelah mengumpulkan surat suara dari pos, mereka bakal melegonya ke peserta pemilu yang membutuhkan suara.
"Misalkan si caleg membutuhkan sekian ribu, sekian ratus, di situ lah tarik-menarik harga sekian ringgit itu terjadi. Misalnya 1.000 surat suara dari Malaysia nih, lalu pedagang susunya 'oke saya kasih 1 surat suara 25 ringgit atau satu suara 50 ringgit'," ungkap Santosa.
Modus ini, ujar Santosa, bukan barang baru. Oleh sebab sangat rendahnya akuntabilitas, Migrant CARE mendesak agar pemungutan suara melalui pos dihapuskan untuk pemilu selanjutnya.
Rendahnya akuntabilitas ini bercampur dengan buruknya pendataan pemilih luar negeri di Malaysia, khususnya Kuala Lumpur.
KPU dan Bawaslu sepakat tak menghitung suara pemilih pos dan Kotak Suara Keliling (KSK) di Kuala Lumpur karena masalah serius pendataan pemilih dan bakal menggelar pemungutan suara ulang.
Bawaslu bahkan menyampaikan, ada dugaan satu orang menguasai ribuan surat suara yang seyogianya dikirim untuk pemilih via pos.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.