Akuntabilitas pemungutan suara melalui metode pos kerap dipertanyakan, termasuk pada Pemilu 2024.
"Dari tahun 2009, rekomendasi kami kepada Bawaslu tetap yaitu adanya penghapusan metode pos karena memang pelaksanaannya tidak transparan. Kita tidak bisa mengecek surat suara kita sampai di mana," kata staf Migrant CARE Trisna Dwi Yuni Aresta dalam konferensi pers di kantor Bawaslu RI, Senin (20/2/2024).
Lembaga pemantau pemilu terakreditasi Bawaslu itu juga menyoroti sisi pengawasan pemilu via pos yang sangat minim.
Pada Pemilu 2024 pun, pemungutan suara via pos tanpa pengawasan melekat dari panitia pengawas luar negeri (panwas LN) karena luasnya jangkauan pemilu pos dan keterbatasan sumber daya.
"Makin banyak perdagangan surat suara dalam bentuk akumulasi surat suara yang ada di pos pos itu kian nyata kita saksikan," kata Trisna.
Dugaan perdagangan surat suara, misalnya, dikhawatirkan terjadi di Hong Kong.
Sebelumnya, akibat pembatasan dari pemerintah setempat, KPU melalui Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) terpaksa hanya mengadakan 4 tempat pemungutan suara (TPS) di Hong Kong. Sisanya, pemilu di Hong Kong berlangsung via pos.
Migrasi metode pemilihan ini ditengarai tidak melalui proses pendataan pemilih yang baik.
Migrant CARE mengeklaim, ratusan pemilih disuruh pulang dari TPS di Hong Kong karena namanya terdaftar via pos. Namun, para pemilih itu mengaku tidak pernah menerima surat suara sama sekali.
"Ketika suratnya dicek, (statusnya) tidak return to sender, tapi terkirim. Yang jadi pertanyaan, siapa yang kemudian menerima surat ini, ketika surat itu telah dari KPU-nya terkirim tapi dia (pemilih) tidak menerima. Itu ratusan kami temui dari teman-teman pekerja migran," kata Trisna.
Kecurigaan serupa juga muncul usai Migrant CARE menemukan sekitar 10 kotak pos terbengkalai di 3 apartemen di Malaysia pada 10 Februari 2024.
Migrant CARE mengeklaim, apartemen-apartemen itu banyak dihuni warga negara Indonesia yang seharusnya menerima surat suara via pos.
Dalam pemantauan Migrant CARE, kotak pos yang terletak di setiap jalur tangga apartemen itu tanpa penjagaan sama sekali, salah satunya di Wisma Sabarudin.
Isi kotak pos terhambur dan berceceran ke mana-mana, walau tak ditemukan ceceran surat suara di sana.
"Ini lah yang dimanfaatkan oleh pedagang-pedagang surat suara itu tadi. Mereka memang sengaja mencari dari kotak pos satu, ke kotak pos yang lainnya, akhirnya dari satu, dua, 9, 10 sampai terkumpul banyak (surat suara)," ungkap staf Migrant CARE lainnya, Muhammad Santosa, dalam kesempatan yang sama.
Modus para pedagang surat suara, kata dia, mereka bakal bergerak setelah mengetahui surat suara dikirim melalui jasa ekspedisi ke kotak pos tujuan.
"Mereka kerjanya tim, tidak sendiri-sendiri; di daerah mana, siapa, di daerah mana, siapa," ujar dia.
Mereka akan memanfaatkan lemahnya pengawasan. Apalagi, panitia pengawas luar negeri (panwas LN) tak punya pengawas pos.
Setelah mengumpulkan surat suara dari pos, mereka bakal melegonya ke peserta pemilu yang membutuhkan suara.
Modus ini, ujar Santosa, bukan barang baru. Oleh sebab sangat rendahnya akuntabilitas, Migrant CARE mendesak agar pemungutan suara melalui pos dihapuskan untuk pemilu selanjutnya.
Rendahnya akuntabilitas ini bercampur dengan buruknya pendataan pemilih luar negeri di Malaysia, khususnya Kuala Lumpur.
KPU dan Bawaslu sepakat tak menghitung suara pemilih pos dan Kotak Suara Keliling (KSK) di Kuala Lumpur karena masalah serius pendataan pemilih dan bakal menggelar pemungutan suara ulang.
Bawaslu bahkan menyampaikan, ada dugaan satu orang menguasai ribuan surat suara yang seyogianya dikirim untuk pemilih via pos.
https://nasional.kompas.com/read/2024/02/20/19515571/rawan-jual-beli-surat-suara-migrant-care-minta-pemilu-via-pos-ditiadakan