Sebagai dosen yunior tentu pendapatnya tidak sahih karena berpijak pada kepentingan pilihan politiknya. Justru inilah yang nyata-nyata tergolong partisan.
Guru besar gelisah, akademisi gundah, mahasiwa bingung dan rakyat pun juga “kelimpungan” dengan ketidakpantasan yang diperlihatkan dengan “tanpa tedeng aling-aling” oleh Jokowi dan para pembantunya.
Usai mengenyampingkan etika dengan mendorong anaknya, Gibran Rakabuming, menjadi calon wakil presiden melalui Mahkamah Konstitusi, Jokowi terlihat begitu tidak sabaran ingin memenangkan kontestasi Pemilihan Presiden atau Pilpres dalam satu putaran.
Beragam cara ditempuh untuk memuluskan kemenangan sang anak. Presiden begitu sayang terhadap anaknya, tetapi sebaliknya malah mencampakkan rasa sayangnya terhadap rakyat.
Hampir semua penjabat kepala daerah seperti diorkestrasi untuk memenangkan Paslon tertentu. Sampai-sampai Penjabat Gubernur DKI Jakarta membagikan bantuan sosial dalam kantung yang identik dengan warna logo Paslon tertentu (Limapagi.id, 8 Februari 2024).
Kementerian Komunikasi dan Informatika memasang baliho yang identik dengan warna paslon dukungan sang menterinya.
Tidak hanya cara “halus”, cara kasar pun ditempuh aparat. Alih-alih mengedepankan netralitas, dengan alasan ingin menyejukkan suasana aparat polisi meminta dukungan rektor-rektor untuk membuat rekaman video tentang keberhasilan pemerintahan Jokowi (Kompas.com, 8 Februari 2024).
Keberanian para menteri, para penjabat kepala daerah, para sekretaris daerah, para camat hingga para kepala desa mendukung tanpa malu Paslon tertentu di Pilpres 2024 tentu tercetus karena melihat junjungannya yang bernama Presiden Jokowi juga melakukan hal serupa.
Mengacungkan dua jari di atas mobil kepresidenan, membagikan bansos dengan masif seiring dengan rajinnya menyambangi daerah dengan alasan meresmikan proyek, menemui Paslon tertentu, menemani anak bungsunya untuk konsolidasi partai hingga membiarkan para menterinya untuk bebas berkampanye adalah gambaran betapa etika memang tiada lagi menjadi pegangan.
Etika menjadi barang mahal di era sekarang ini. Lengkap sudah di negeri yang Ketua Mahkamah Konstitusinya melanggar etika berat, Ketua Komisi Pemilihan Umum dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi juga melanggar etika, maka jangan heran jika kepemimpinan nasional kita saat ini juga tuna etika.
Mau saya tabok rasanya
ketika kau enteng berdusta
soal dana gempa hingga esemka
Mau saya tabok rasanya
ketika kau seenaknya naikkan harga
menyusahkan jutaan rumah tangga
Mau saya tabok rasanya
ketika kau impor beras dan gula
petani hancur panen derita
Kini kau gadai lagi negara
ekonomi makin liar liberal buta
asing caplok semua bidang usaha
Mau saya tabok rasanya
agar kau lihat realita
bukan fatamorgana
Semoga puisi “Mau Saya Tabok Rasanya” karya Fadli Zon bisa mengingatkan dirinya untuk mau membuat puisi lagi. Khususnya yang mengupas persoalan hilangnya etika dan moral di negeri ini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.