Suatu ketika, saya mengusulkan ke rapat redaksi agar diperbolehkan meliput aksi demonstrasi mahasiswi Akademi Sekretaris Tarakanita di Kawasan Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
Awalnya saya ditertawakan karena dianggap liputan “cemen”. Padahal, menurut saya, jika Tarakanita turun ke jalan, maka keberanian untuk menentang Soeharto sudah menjalar ke siapa saja, tanpa kenal takut.
Insting saya ternyata tepat. Petang harinya usai mahasiswi Tarakanita berunjuk rasa, kawasan Kali Malang membara karena ada pertokoan yang dibakar massa “siluman”.
Listrik di sekitaran Kali Malang padam total. Warga banyak yang berjalan kaki karena ketiadaan angkutan umum beroperasi.
Kampus Universitas Kristen Indonesia (UKI) yang berada di Cawang, juga meluapkan kebenciannya terhadap Soeharto dan kroni-kroninya dengan aksi turun ke jalan.
Suara-suara kampus yang bergejolak di penghujung kejatuhan Soeharto adalah gambaran betapa kegelisahan kaum cerdik cendikiawan merefleksikan apa yang dirasakan rakyat.
Mereka bukan partisan. Terlalu merendahkan martabat keilmuan dan kepakarannya jika para pendidik dianggap memiliki agenda dan skenario membela tokoh-tokoh yang melawan rezim Orde Baru.
Uniknya, orang-orang yang berdiri gigih membela Soeharto saat itu masih bercokol hingga kini tanpa dosa serta mentrasformasi dirinya sebagai tokoh yang “bersih” tanpa noda.
Di salah satu kampus tempat saya mengajar di Program Pascasarjananya, Universitas Islam Bandung (Unisba) mengeluarkan pernyataan sikapnya di Bandung, 5 Februari 2024 lalu.
Pernyataan yang dibacakan Rekor Unisba, Profesor Edi Setiadi menyebut sebagai “ulil amri” Presiden Jokowi hendaknya menjadi suri tauladan dengan menunjukkan proses pembentukan kepemimpinan yang baik.
Bertajuk “Satukan Tekad Selamatkan Demokrasi”, Unisba meminta Jokowi seharusnya mementingkan legacy, keteladanan dan etika sebagai presiden. Jokowi harus netral dan mengayomi masyarakat luas. Unisba juga menyoroti lemahnya penegakan pemberantasan korupsi.
Begitu pula petisi-petisi keprihatinan dari kampus-kampus lain – hingga tulisan ini diturunkan - sudah lebih dari 50 perguruan tinggi yang menyuarakan keprihatinannya terhadap sikap Jokowi.
Sebagai alumni dari UI dan Universitas Padjadjaran serta mengajar di berbagai kampus, saya kenal betul dengan para guru besar dan akademisi yang bersuara lantang.
Mereka adalah sosok yang bersahaja, dihormati para mahasiswanya karena keluasan ilmunya. Mereka tidak terafiliasi dengan partai atau pasangan calon presiden dan wakil presiden. Keseharianya mengajar, meneliti dan pengabdian.
Sangat di luar “nurul” jika ada seorang menteri yang membanggakan dirinya pernah menjadi ketua badan eksekutif mahasiswa di era reformasi – walau saya lacak profilnya tidak terdata kiprahnya – menuduh suara-suara akademisi yang menyuarakan keprihatinan akhir-akhir ini adalah bagian dari skenario paslon tertentu.
Menuduh mereka sebagai partisan sama saja mengingkari dirinya baru saja lulus dari bimbingan para guru besar di program doktoralnya.
Sebagai bagian civitas akademika, tentu sang menteri paham dengan kehidupan kampus yang menjunjung tinggi kejujuran. Mengedepankan etika dan moral dalam setiap aspek kehidupan.
Demikian juga pandangan sumir dari seorang jurnalis yang telah menamatkan S-3, hanya karena keluar dari tim pemenangan paslon dan terlibat aktif di paslon lain lantas menganggap suara-suara kampus sebagai pendapat individu.