Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

11 Kepala Daerah Uji Materi ke MK, Nilai Desain Pilkada Serentak 2024 Bermasalah

Kompas.com - 29/01/2024, 10:51 WIB
Irfan Kamil,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Sebanyak 11 kepala daerah mengajukan uji materi atau judicial review terhadap ketentuan Pasal 201 Ayat (7), (8), dan (9) Undang-Undang (UU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (26/1/2023).

Koordiantor tim kuasa hukum 11 kepala daerah, Donal Fariz menyampaikan, pengujian pasal ini berkaitan dengan desain keserentakan pilkada nasional tahun 2024 yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan konstitusi.

Sebab, desain pilkada serentak dinilai telah merugikan 270 kepala daerah, terutama terkait dengan terpangkasnya masa jabatan para kepala daerah secara signifikan.

"Secara persentase, jumlah kepala daerah yang dirugikan tersebut mencapai setengah dari jumlah total 546 kepala daerah di seluruh Indonesia, atau 49,5 persen dari 546 kepala daerah," ungkap Donal Fariz kepada Kompas.com, Senin (29/1/2023).

Baca juga: Bupati Bandung Dukung Upaya Uji Materi UU Pilkada ke MK

Adapun 11 kepala daerah yang bertindak sebagai pemohon dalam gugatan ini terdiri dari Gubernur Jambi, Gubernur Sumatera Barat, Bupati Kabupaten Pesisir Barat, Bupati Malaka, Bupati Kebumen, Bupati Malang, Bupati Nunukan, Bupati Rokan Hulu, Wali Kota Makassar, Wali Kota Bontang, Wali Kota Bukittinggi.

Para kepala daerah tersebut mewakili kepentingan dari 270 kepala daerah yang terdampak dan mengungkapkan setidaknya terdapat tujuh persoalan dari desain keserentakan

Pilkada 2024 yang diatur dalam pasal-pasal yang diuji tersebut.

Adapun ketentuan dari pasal-pasal yang diuji berbunyi sebagai berikut:

Pasal 201 Ayat (7) UU Nomor 10 Tahun 2016: “Gubernur dan wakil gubernur, bupati, dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan tahun 2020 menjabat sampai dengan tahun 2024”;

Pasal 201 Ayat (8) UU Nomor 10 Tahun 2016: “Pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024;

Pasal 201 Ayat (9) UU Nomor 10 Tahun 2016: “Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota yang berakhir masa jabatannya pada tahun 2022 sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dan berakhir masa jabatannya pada tahun 2023 sebagaimana dimaksud pada Ayat (5), diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota sampai dengan terpilihnya gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024”;

Baca juga: Gugat UU Pemilu ke MK, Advokat Minta Presiden Dilarang Kampanye jika Sedarah

Sekalipun pasal yang diuji oleh para kepala daerah tersebut telah pernah diuji sebelumnya ke MK, namun, menurut Donal, 11 kepala daerah ini memiliki argumentasi yang berbeda dengan permohonan sebelumnya.

Dalam pandangan pemohon ini, pembentuk undang-undang dinilai tidak memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis atas pilihan pilkada serentak nasional tahun 2024 sehingga berpotensi menghambat pilkada yang berkualitas.

Misalnya, satu, tidak terdapat perdebatan teknis dan substansial dalam pembahasan Jadwal Pilkada serentak nasional tahun 2024.

Dua, penjadwalan penyelenggaraan Pilkada November 2024 tanpa mempertimbangkan risiko dan implikasi teknis

Tiga, tujuan keserentakan pemilihan umum (pemilu) untuk efisiensi anggaran tidak terlaksana, Kemudian, penentuan jadwal Pilkada serentak nasional 2024 merugikan sebanyak 270 kepala daerah hasil Pilkada 2020.

Selanjutnya, keserentakan pemilihan presiden (pilpres), pemilihan legislatif (pileg), dan pilkada membuat potensi korupsi lebih tinggi dan keserentakan pilpres, pileg, dan pilkada membuat potensi gangguan keamanan dan ketertiban menjadi besar.


Terakhir, para kepala daerah menilai, ada potensi penumpukan perkara hasil sengketa di MK atas desain keserentakan pemilihan ini.

Atas seluruh argumentasi tersebut, para kepala daerah meminta MK untuk membagi keserentakan Pilkada Nasional pada 546 daerah otonomi menjadi dua gelombang.

Misalnya, pelaksanaan gelombang pertama pada bulan November 2024 sebanyak 276 daerah, dan selanjutnya gelombang kedua sebanyak 270 daerah dilaksanakan pada bulan Desember 2025.

"Desain demikian menjadi solusi atau jalan tengah di antara problem teknis pelaksanaan Pilkada satu gelombang, persoalan keamanan hingga persoalan pemotongan masa jabatan sebanyak 270 daerah otonomi sebagai konsekuensi keberadaan pasal-pasal yang diuji ke Mahkamah Konstitusi tersebut," kata Donal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com