JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menilai pernyataan Presiden Joko Widodo soal presiden boleh memihak tak cukup untuk dijerat ketentuan sanksi UU Pemilu.
"Pelanggaran hukum? Enggak. Belum cukup kuat (dianggap pelanggaran)," kata Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, di kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Jumat (26/1/2024).
"Pernyataan itu kan mengutip undang-undang sepertinya. Ya kan? (Boleh kampanye asal) 'tidak boleh menggunakan fasilitas negara', ya betul kan di Pasal 281 (UU Pemilu). Kalau penerjemahannya lain lagi, silakan lah ahli politik yang lain," tambahnya.
Bagja menegaskan, hingga saat ini Presiden Jokowi tidak mengajukan cuti kampanye dan pihaknya akan terus melakukan pengawasan terhadap hal-hal yang dilarang termasuk untuk presiden.
"Apa yang dilarang? Menggunakan fasilitas pemerintah. Nanti kita juga lihat hubungan dengan kandidat yang lain," kata Bagja.
Baca juga: Kata Prabowo soal Pernyataan Jokowi yang Sebut Presiden Boleh Memihak
Ia juga menganggap, pernyataan Jokowi tidak serta-merta bisa dibaca sebagai pernyataan keberpihakan terhadap salah satu peserta pemilu.
"Seakan berpihak bagaimana? Kan enggak. Kalau secara hukum tidak bisa dibilang seakan berpihak lho dia," ucap Bagja.
"Presiden kan ngomongnya tidak klir itu, menurut saya sih tidak bisa diterjemahkan secara hukum bahwa yang bersangkutan mau mengajukan cuti ya mau berkampanye. Presiden boleh berpihak sebagai pribadi ya, tapi presidennya tidak boleh sebagai jabatannya. Itu (berpihak sebagai presiden) kan cuti jadinya," jelas dia.
Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia (UI), Titi Anggraini, menegaskan bahwa posisi presiden, jika tidak cuti, sama dengan aparatur sipil negara (ASN) pada tahun politik.
Sesuai Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu), mereka sama-sama sebagai pejabat negara, yang dilarang berpihak atau menguntungkan dan merugikan salah satu peserta pemilu sebelum, saat, dan setelah masa kampanye.
"Posisi presiden dalam keadaan tidak cuti kampanye adalah bisa disamakan dengan posisi ASN yang wajib tidak berpihak. ASN saja dilarang pose menggunakan simbol atau gestur tertentu. Maka demikian pula dengan Presiden yang sedang melakukan tugas pemerintahan atau kenegaraan dan tidak sedang dalam keadaan cuti kampanye," jelas Titi kepada Kompas.com, Kamis (25/1/2024).
Baca juga: Pernyataan Jokowi soal Boleh Memihak Dinilai Pembangkangan terhadap UU Pemilu
UU Pemilu melalui Pasal 299 dan 300 memang membolehkan presiden dan wakil presiden terlibat dalam kampanye asal cuti di luar tanggungan negara dan tak memakai fasilitas negara kecuali yang bersifat melekat.
Dalam hal ini, jika Joko Widodo ingin berkampanye untuk peserta pemilu tertentu, maka ia harus melakukannya sebagai Jokowi, bukan sebagai presiden
Hal ini pernah dicontohkan Presiden keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono di akhir masa jabatannya jelang Pemilu 2014.
Ia turun gunung menjadi juru kampanye Partai Demokrat, namun ia mengajukan cuti sebagai presiden.