KOMPAS.com - Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Said Abdullah mengatakan, marwah institusi kepresidenan harus dijaga.
Dia menilai, sejak pencalonan salah satu calon wakil presiden (cawapres) melalui “pembegalan” pasal di Mahkamah Konstitusi (MK), kejadian itu menuai krisis terhadap kedudukan Indonesia sebagai negara hukum.
“Sekalipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpisah jalan politik dengan PDI-P karena memilih anaknya maju kandidat cawapres dan berkontestasi elektoral dengan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, saya berpandangan, institusi kepresidenan harus dijaga marwahnya,” katanya dalam siaran pers, Jumat (26/1/2024).
Said mengatakan, krisis itu dimulai dari kepercayaan terhadap MK yang melorot. Kejadian ini dianggapnya erat dengan konflik kepentingan keluarga presiden.
“Ketua MK yang notabene saudara ipar presiden dan paman dari pihak yang diuntungkan atas perkara tersebut. Kejadian ini menuai krisis etis terhadap Presiden Jokowi,” ungkapnya.
Baca juga: Jokowi Sebut Presiden Boleh Kampanye dan Memihak, Pengamat: Tak Tunjukkan Sikap Kenegarawan
Kemudian, kata dia, berbagai hal tersebut ditambah dengan penegasan Jokowi yang menyatakan bahwa presiden dan para menteri boleh berkampanye asal tidak menggunakan fasilitas negara.
“Saya lebih menaruh respek dan hormat terhadap beliau bila dinyatakan saja oleh beliau bila ingin mengoreksi kehendaknya untuk netral demi putra sulung,” ujarnya.
Said menyebutkan, jika Jokowi ingin berkampanye, dia dapat cuti selama Pemilihan Presiden (Pilpres) dan menyerahkan pemerintahan sementara kepada wakil presiden.
Hal tersebut diatur dalam pasal 281 Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
“Ketimbang beliau menyatakan netral, tetapi secara substansial menggunakan fasilitas negara dan perangkat kekuasaan pemerintahan berpihak kepada sang putra,” katanya.
Baca juga: Tim Hukum Anies-Muhaimin Akan Laporkan Jokowi ke Bawaslu jika Terbukti Berpihak di Pilpres
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI itu mengatakan, hal tersebut akan menambah akumulasi krisis etik terhadap lembaga kepresidenan.
Menurutnya, pertunjukan terbuka atas konflik kepentingan itu kian merusak tatanan sistem pemerintahan dan negara hukum.
“Bila Presiden Jokowi tidak cuti, beliau berpotensi menabrak Pasal 282 UU Nomor 7 Tahun 2017,” ungkapnya.
UU tsebut mengatakan, “pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye”.
Said menilai, sesuai pasal di atas, Jokowi bukan peserta pemilu, sehingga sebaiknya memberikan teladan etik bagi aparat di bawahnya.