JAKARTA, KOMPAS.com - Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 3 Mahfud MD mengatakan, persoalan utama yang membuat banyak kalangan memandang negatif soal dinasti politik karena kekhawatiran hal itu dilakukan buat memperpanjang kekuasaan dengan cara yang manipulatif.
"Yang jadi masalah itu kalau untuk sebuah kebutuhan dinasti politik itu melakukan rekayasa dan penunggangan terhadap hukum yang berlaku," kata Mahfud dalam kegiatan "Tabrak Prof!" di Kota Bandar Lampung, Lampung, Kamis (25/1/2024), seperti dikutip dari siaran streaming di kanal YouTube.
"Sehingga yang tidak boleh dilakukan, lalu dilakukan. Menggunakan pendekatan-pendekatan yang kasar. Nah itu yang tidak boleh dilakukan," sambung Mahfud.
Mahfud mengatakan, fenomena dinasti politik atau sebuah keluarga yang anggotanya berkecimpung menjadi tokoh politik tingkat daerah sampai nasional sudah lumrah di sejumlah negara.
Baca juga: TPN Tetap Optimistis Ganjar-Mahfud Menang Satu Putaran meski Jokowi Bilang Presiden Boleh Berpihak
Dia mengambil contoh keluarga Gandhi di India. Mohandas Karamchand Gandhi atau Mahatma Gandhi adalah pejuang kemerdekaan India.
Sejumlah keturunan Gandhi kemudian berkecimpung di dunia politik, yaitu Indira Gandhi dan Rajiv Gandhi.
Mahfud juga mengambil contoh dinasti politik Kennedy, di mana sejumlah anggota keluarga itu menduduki jabatan publik di Amerika Serikat.
Mereka antara lain mendiang Presiden John Fitzgerald Kennedy, adiknya yang juga mantan Jaksa Agung AS Robert Francis Kennedy, serta anggota keluarga lainnya yang menduduki jabatan publik.
Baca juga: Survei Charta Politika: 61,3 Persen Responden Tahu Isu Dinasti Politik di Pilpres
Contoh lain dinasti politik adalah keluarga Presiden AS George Herbert Walker Bush dan anaknya, Presiden George Walker Bush.
Persoalan lain yang kerap terjadi dalam dinasti politik adalah lambat laun mereka menjadi kehilangan arah, kemudian muncul nafsu mempertahankan kekuasaan supaya tetap berada di lingkaran keluarga mereka dengan berbagai cara.
Alhasil hal itu yang memicu konflik dengan pihak lain dan juga rakyat yang merasa aspirasinya tidak tersalurkan dan partisipasi politiknya dihambat.
"Terkadang dinasti politik tidak lagi objektif untuk kepentingan rakyat. Lalu muncul berbagai langkah-langkah dari seorang yang menjadi induk dari dinasti politik itu untuk melakukan pemenangan atas dinastinya sendiri," ucap Mahfud.
Baca juga: Sumarsih: Presiden Jokowi Khianati Reformasi dan Bangun Dinasti Politik
"Itu yang tidak boleh dan itu sebenarnya jorok kalau dilakukan pemerintah sebesar Negara Kesatuan Republik Indonesia," sambung Mahfud.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Jokowi menyampaikan seorang presiden boleh berkampanye dalam Pemilu. Di sisi lain, cawapres nomor urut 2 Gibran Rakabuming Raka adalah anak sulung Presiden Jokowi.
"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja," ujar Jokowi saat memberikan keterangan pers di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024).
"Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. (Jadi) boleh (presiden kampanye)," katanya.
Baca juga: Bagikan Selebaran ke Masyarakat, Mahasiswa Ingin Gagalkan Dinasti Politik Jokowi
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu lantas menjelaskan bahwa presiden dan menteri merupakan pejabat publik sekaligus pejabat politik.
Oleh karena itu, Jokowi berpandangan bahwa presiden dan menteri boleh berpolitik.
"Kita ini kan pejabat publik sekaligus pejabat politik. Masak gini enggak boleh, berpolitik enggak boleh, Boleh. Menteri juga boleh," ujarnya.
Saat ditanya lebih lanjut soal bagaimana memastikan agar presiden tidak terlibat dalam konflik kepentingan ketika berkampanye dalam pemilu, Jokowi menegaskan, sebaiknya tidak menggunakan fasilitas negara.
Sementara itu, saat ditanya apakah dirinya memihak atau tidak dalam pemilu kali ini, Jokowi justru kembali bertanya kepada wartawan.
"Itu yang mau saya tanya, memihak enggak?" katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.