Dengan berlakunya UU PPSK, pinjol ilegal yang merugikan masyarakat dapat dijerat hukuman maksimal 10 tahun pidana dan denda Rp 1 triliun.
Selain itu, UU tersebut juga mengatur dibentuknya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk Asuransi. Pasalnya, banyak nasabah asuransi yang mengalami gagal bayar.
Sebelum adanya LPS Asuransi, nasabah tidak bisa mendapatkan kepastian saat sebuah asuransi mengalami kebangkrutan. Dengan adanya LPS Asuransi, nasabah bisa mendapatkan kembali uangnya jika ada asuransi yang gagal bayar.
“Berbagai capaian tersebut membuktikan bahwa DPR menghasilkan produk UU yang berpihak kepada rakyat. Untuk itu, anggota DPR berkewajiban menyosialisasikan hasil kinerja DPR pada masyarakat. Sejak menjadi anggota DPR, saya melaporkan hasil kinerja saya kepada masyarakat di media sosial saya,” katanya.
Anggota Komisi I DPR RI Fraksi Partai NasDem Muhammad Farhan mengatakan, penyusunan UU di DPR mengutamakan aspek keterbukaan. Pasalnya, keterbukaan menjadi prinsip untuk menjaga kredibilitas, kepercayaan, serta atmosfer demokrasi.
DPR memiliki peran penting dalam menjaga atmosfer demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu anggota DPR harus terbuka terhadap kritik dan sindiran dari masyarakat.
“Kebebasan masyarakat dalam mengkritik kinerja anggota DPR menjadi bukti bahwa demokrasi masih berjalan di Indonesia,” kata Farhan.
Farhan menambahkan, DPR sudah melakukan berbagai upaya supaya sidang parlemen bisa disaksikan langsung oleh masyarakat.
Baca juga: Anggota DPR Nilai Calon Pengganti Firli Bahuri Harus lewat Pansel, Ini Alasannya
Salah satunya dengan menayangkan persidangan di TV dan Radio Parlemen. Saluran ini melakukan streaming selama sidang berlangsung dan tayangannya bisa diunduh.
“Hal tersebut membuktikan bahwa DPR sudah beradaptasi dalam perkembangan teknologi digital sekaligus bentuk transparansi,” ujarnya.
Sementara itu, Pakar Komunikasi Politik Dr Gun Gun Heryanto memaparkan berbagai alasan terkait buruknya persepsi masyarakat terhadap DPR, meski telah menghasilkan kinerja yang bagus.
Pertama, kata dia, kekuatan politik yang terfragmentasi karena Indonesia mengusung sistem multipartai. Konsekuensinya, kekuatan partai di tengah masyarakat dapat menggiring opini untuk menyerang kekuatan partai tertentu di kekuasan legislatif.
Kedua, kompleksitas relasi kuasa. Publik tidak mengetahui rancangan UU (RUU) yang diinisiasi oleh DPR atau pemerintah. Akibatnya, saat pembahasan RUU terhenti atau terhambat oleh sebab tertentu, masyarakat akan menyalahkan DPR.
Ketiga, masalah komunikasi. Gun Gun menilai, tidak semua anggota DPR yang tengah membahas produk UU memiliki pemahaman yang cukup terhadap UU yang sedang dibahas. Hal ini kerap menjadi blunder karena membuat citra anggota DPR menjadi buruk.
“Anggota DPR yang hendak berbicara kepada publik harus mendengarkan masukan dari tim. Tanpa disadari, anggota DPR yang berbicara kepada masyarakat sebenarnya sedang mengambil peran sebagai public relations kelembagaan,” kata Gugun.