Penggunaan kata-kata kasar dan suasana permusuhan juga bersifat menular. Bukan penularan melalui virus atau sejenisnya, namun melalui proses belajar sosial (social learning) yang keliru. Yakni, orang-orang, termasuk anak-anak, akan meniru perbuatan serupa.
Semakin tidak elok ketika orang-orang yang mengucapkan umpatan atau suasana penuh permusuhan —siapa pun dia— justru disambut dengan sorak-sorai dan kemudian diviralkan.
Betapa sedih; susah payah para guru dan ayah bunda mengajarkan persahabatan, akhlak mulia dan sopan santun kepada anak-anak. Budi pekerti tercermin, antara lain, pada tutur kata dan perilaku.
Namun berkat kedahsyatan media sosial, ajaran-ajaran kebaikan itu dalam waktu singkat dapat langsung “terevisi” oleh tayangan-tayangan tentang aksi teatrikal penutur yang jauh dari keteladanan. Ini amat-sangat disesalkan.
Kembali ke kalimat awal tulisan ini. Tak sabar saya menunggu datangnya sesi terakhir debat calon presiden. Pasalnya, pada sesi itulah—perkiraan saya—tema-tema perlindungan anak akan memperoleh panggungnya.
Tinggal lagi bagaimana calon-calon pemimpin nasional kita mengolah gagasan dan narasi dengan seindah mungkin, sehingga dapat menjadi alat tagih masyarakat saat satu dari ketiga calon yang ada terpilih nantinya.
Terutama pada segmen tanya jawab, saya sungguh-sungguh berharap ada pertukaran pendapat tentang beberapa hal yang saya anggap kritis dewasa ini. Semuanya terkait pada aktivitas perlindungan anak.
Pertama, perlindungan anak-anak dari bahaya rokok. Rokok memang saya berikan garis tebal, karena publik sering abai bahwa rokok merupakan salah satu ragam zat adiktif.
Dan zat adiktif adalah satu dari tiga zat kimia berbahaya. Bahkan, rokok—saya percaya—sebagai zat berbahaya yang penyebarannya paling masif, mengalahkan narkotika dan psikotropika.
Kedua, kampanye orientasi dan perilaku seksual menyimpang. Masalah gawat ini tidak bisa disorot sebagai problem individu per individu semata.
Orientasi dan perilaku seksual menyimpang sudah menjadi ideologi yang banyak dikampanyekan secara global.
Kini, bahaya serius ini dikemas dengan cerdik lewat semantik yang menyesatkan. Misalnya, edukasi kesetaraan jender, hak privat, kesehatan reproduksi, bahkan pengasuhan keluarga alternatif.
Ketiga, mendakinya angka perceraian di Tanah Air. Kegelisahan akibat maraknya perceraian sesungguhnya sangat beralasan.
Karena kasus-kasus yang masuk ke LPAI (Lembaga Perlindungan Anak Indonesia) memperlihatkan bagaimana fenomena perceraian unilateral berlanjut dengan keterpisahan anak dari orangtua mereka.
Ini merupakan bukti bahwa perceraian, yang semula diharapkan menjadi upaya mitigasi terhadap konflik suami istri, justru menjadi awal mula bagi anak-anak untuk “kehilangan” ayah atau bunda mereka.