MK dan KPK dibuat untuk menjaga negara dari penggerogotan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Namun, ironis dan tragis, dua lembaga negara itu ambruk hampir bersamaan justru akibat KKN dari pucuk pimpinannya.
Di MK, kita menyaksikan Anwar Usman dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK. Ia dinilai telah melakukan pelanggaran etik berat, karena ikut mengadili norma yang menguntungkan keponakannya, Gibran Rakabuming Raka, yang tak lain putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Melalui putusan yang kontroversial tersebut, pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka akhirnya meraih tiket sebagai capres dan cawapres dengan nomor urut 2.
Proses tersebut dinilai banyak pihak menabrak aturan dan moralitas politik yang menjadi sandaran demokrasi. Sesuatu yang mestinya dijunjung tinggi justru diabaikan. Kepentingan kekuasaan lebih dikedepankan daripada hukum dan moralitas.
Maka, MK dinilai telah meruntuhkan fondasi demokrasi untuk Indonesia yang telah dirumuskan para pendiri bangsa dan susah payah diperjuangkan melalui gerakan reformasi 1998.
Publik lalu membaca ada tendensi arah kekuasaan menuju politik tirani. Kekuasaan dicurigai telah dan akan memanfaatkan institusi hukum, penyalahgunaan birokrasi dan aparat negara, bahkan mungkin juga anggaran negara.
Peristiwa pemukulan relawan pasangan nomor urut 3, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, oleh oknum TNI di Boyolali beberapa hari lalu, tak bisa disepelekan.
Peristiwa tersebut dan peristiwa intimidasi lain yang dilakukan institusi negara menambah buram wajah kita mengawali 2024 dan membenarkan kecemasan sebagian publik.
Lalu, KPK juga “roboh”, menyusul penetapan Ketua KPK saat itu, Firli Bahuri sebagai tersangka. Aneh tapi nyata. Penyebab Firli tersangka berhubungan dengan mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL), yang lebih dulu ditetapkan menjadi tersangka korupsi oleh KPK.
SYL menambah panjang deret korupsi kelas menteri. Sebelumnya pada pemerintahan Presiden Jokowi ada Juliari Batubara (mantan Menteri Sosial), Idrus Marham (mantan Menteri Sosial), Imam Nahrawi (mantan Menpora), Edhy Prabowo (mantan Menteri Kelautan dan Perikanan), Johnny Gerard Plate (mantan Menkominfo). Lalu, kelas wakil menteri, Edward Omar Sharif Hiariej (Wakil Menkumham), berstatus tersangka.
Apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Mengapa krisis moralitas mendera para elite lembaga negara yang mestinya menjadi pelopor bagi pencapaian cita-cita proklamasi, menjadi pelaku utama jalannya Revolusi Indonesia?
Bukan hanya di MK dan KPK. Ada pula anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ditangkap Kejaksaan Agung. Hakim Mahkamah Agung (MA) ditangkap KPK. Perwira tinggi polisi tersangkut narkotika, dan sebagainya.
Pemilu semestinya bisa menjadi mekanisme politik yang menjanjikan penyelesaian. Namun, saat diselenggarakan hanya untuk menggugurkan kewajiban ketatanegaraan lima tahunan dan bukan dengan tekat semangat mewujudkan cita-cita proklamasi kemerdekaan, apalagi diragukan akuntabilitas dan legitimasinya, masihkah hasilnya bisa dipercaya? Bukankah keabsahan produknya diragukan?
Di samping itu, bukankah kinerja pemerintahan di tahun terakhir boleh jadi akan terganggu? Hubungan presiden dengan sejumlah menteri dan hubungan antarmenteri boleh jadi tidak seharmonis sebelumnya.
Pasalnya, sejumlah menteri berafiliasi dengan parpol pengusung tiga pasangan capres-cawapres dan putra sulung presiden menjadi salah satu cawapres. Pun hubungan pemerintah dengan DPR boleh jadi tak sebaik sebelumnya.
Taruhannya tentu saja stabilitas politik dan ekonomi Indonesia 2024, termasuk investasi di IKN. Ekonomi dan investasi akan makin berat di tengah korupsi yang akut dan Pemilu 2024 yang diragukan legitimasinya. Tentu bukan urusan sepele, “vivere pericoloso”.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.