Sebab, menteri serta kepala daerah (bupati dan wali kota) tak perlu mundur jika resmi mendaftarkan diri Pilpres 2024.
Di saat bersamaan, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/2015 masih mewajibkan mundurnya anggota DPR, DPD, dan DPRD ketika mencalonkan diri dalam Pilkada (pemilihan gubernur/wali kota/bupati).
Bukankah ini terjadi hal aneh, manakala kontestasi demokrasi tertinggi di negeri ini, yakni Pilpres, mereka yang punya kuasa anggaran dan aparat, seraya bisa mengomando timses untuk berlaku TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif), justru dilindungi aturan agar tak perlu mundur?
Terlebih masa kampanye Pilpres 2024 ini sangat pendek (75 hari), maka bagaimana bisa mereka lebih fokus memprioritaskan kinerja pelayanannya kepada rakyat Indonesia?
Di manakah etika, moral, dan rasa malu ditempatkan manakala aturan tak perlu mundur akan lebih memungkinkan capres dan cawapres dari pejabat negara untuk gunakan fasilitas, akses, dan kuasa milik negara?
Di manakah nilai patut dan pantas dicontohkan ke masyarakat ketika regulasi terus memberi wahana berlaku ada kesempatan dalam kesempitan?
Proses elektoral demokrasi di negeri ini hanya terus memproduksi politisi, bukan negarawan. Pilkada dan Pilpres makin menampakkan usaha melanggengkan dan mempertahankan kekuasaan, bukan usaha super maksimal memperjuangkan kepentingan rakyat.
Mengapa 25 tahun reformasi menjadi begini, makin banyak penguasa yang tak malu-malu lagi berlaku?
Hampir tidak ada bedanya negeri ini dengan Filipina dan Thailand, misalnya, yang selalu penuh jargon pembaruan dan bangun ulang negeri tiap kali Pilpres. Namun faktanya mengulang kesalahan orde-orde lalu khususnya dengan mengakali sistem agar selama mungkin berkuasa.
Sahih jadinya premis Guru Besar Kajian Asia dan Direktur Asia Institute, University of Melbourne, Vedi R Hadiz, yang memperoleh simpulan risetnya bahwa proses demokrasi di Asia Tenggara tidak berhasil mengatasi ketidakadilan sosial. Institusi tetap dikuasai pihak terafiliasi Orde Baru seperti di Indonesia.
Akhir kata, di manakah etika penguasa? Sudahkah Ndas (kepala) kalian wahai calon pemimpin dipenuhi lagi rasa etika dan kepantasan? Telahkah rasa malu dan sungkan turut mewarnai kata, sikap, dan karsa-mu?
Penulis jadi teringat salah satu kosakata Bahasa Sunda yang sering disebut Prabowo akhir-akhir ini: Kumaha engke (Bagaimana nanti).
Yang ideal, menurut para sesepuh Sunda adalah sebaliknya: Engke kumaha (Nanti bagaimana).
Apakah Indonesia akan menjadi negara tak malu-malu berlaku ke depannya? Jangan sampai jawabannya kumaha engke!
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.