PASCA-debat perdana calon presiden (capres) 2024 diksi “ordal” semakin populer. Akronim dari ‘orang dalam’ ini disebut Calon Presiden Nomor Urut 1, Anies Baswedan sebagai fenomena yang menyebalkan.
"Fenomena ordal ini menyebalkan, di seluruh Indonesia kita menghadapi fenomena ordal. Mau ikut kesebelasan ada ordalnya, mau jadi guru ordal, mau masuk sekolah ada ordal, mau dapat tiket konser ada ordal,” kata Anies dalam Debat Capres 2024 di Gedung KPU RI, Jakarta, Selasa, 12 Desember 2023.
Anies juga mengatakan, fenomena ordal di mana-mana membuat meritokratik tak berjalan dan membuat etika luntur. Menjadi gambaran bahwa ordal kerap melahirkan ketidakadilan, dengan ordal ada yang mendapat keistimewaan dalam perlakuan.
Menanggapi Anies, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani, mengatakan fenomena ordal terjadi di setiap kekuatan (politik).
“Orang dalam itu kan fenomena dalam setiap kekuatan. Ada, selalu ada," kata Muzani (Merdeka.com, Jumat, 14 Desember 2023).
Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran itu mengatakan, pihaknya bukan mau menormalisasi fenomena ordal. Menurut dia, selama pihak yang dibantu oleh ordal memenuhi standar, maka hal itu bukan masalah.
Dua sudut pandang itu menjadikan diksi ordal ada pada posisi diametral dalam interpretasi. Lantas bagaimana kita memahami fenomena ordal ini?
Fenomena ordal sejatinya merujuk pada, pertama, situasi di mana seseorang yang memiliki akses atau pengetahuan terhadap internal suatu organisasi atau institusi, baik itu pemerintah maupun swasta.
Dengan akses tersebut, kemudian dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Hal yang dapat juga terkait dengan keamanan dan pelanggaran kepercayaan dalam konteks suatu entitas.
Kedua, seseorang karena memiliki hubungan personal, kekerabatan atau sosial-politik dengan otoritas pengambil keputusan, kemudian diberikan atau ditempatkan pada posisi dan jabatan tertentu.
Ordal tidak selalu atau berarti negatif, karena dalam sejumlah pengalaman, akses melalui ordal bisa pula digunakan untuk memberikan dukungan bagi kemajuan suatu institusi (negara).
Ada individu yang memiliki akses internal atau punya ordal, justru dapat menggunakan pengetahuan atau informasi itu untuk tujuan baik, mendukung keberlanjutan yang positif terhadap institusinya.
Ordal menjadi persoalan ketika akses yang dimiliki tersebut kemudian disalahgunakan untuk keuntungan pribadi atau tujuan yang merugikan. Itulah saat di mana fenomena ordal menjadi negatif, perlu dicegah.
Sementara diangkat dan ditempatkannya seseorang dari kalangan dekat atau ordal, juga tidak mesti keliru. Karena bila telah melewati satu proses transparan, tidak menabrak aturan atau etika, sesuai dengan kebutuhan, hal ini bukan suatu masalah.
Artinya, menempatkan dan memanfaatkan ordal sehingga menguntungkan pribadi dan kelompok, tentu mesti dihindari. Sebaliknya bila didasari objektivitas dan profesionalisme, demi kepentingan yang lebih luas, ordal barangkali boleh-boleh saja.