Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tolak Gugatan Usia Capres-Cawapres, MK Dinilai Inkonsisten dan Tak Bertanggung Jawab

Kompas.com - 30/11/2023, 17:23 WIB
Fitria Chusna Farisa

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari mengkritisi Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi syarat usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) lewat putusan nomor 141/PUU-XXI/2023

Feri menilai, MK tak konsisten dalam menguji perkara syarat usia capres-cawapres yang diatur Pasal 169 huruf q Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017.

“Ini putusan yang inkonsisten dan tidak bertanggung jawab,” kata Feri dalam program Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Kamis (30/11/2023).

Dalam putusan nomor 141/PUU-XXI/2023, Mahkamah menolak mengubah syarat usia capres-cawapres karena menilai aturan tersebut merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka.

Sehingga, menurut Mahkamah, menjadi wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubah aturan, dalam hal ini pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.

Baca juga: Kandasnya Gugatan Syarat Usia Capres-Cawapres: Alasan MK dan Pembelaan Kubu Gibran

Padahal, lewat putusan sebelumnya bernomor 90/PUU-XXI/2023 yang menyoal pasal yang sama, Mahkamah menyatakan bahwa pihaknya dapat menafsirkan open legal policy jika terdapat intolerable injustice atau ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

“Anehnya, sekarang mereka malah kembali ke cerita lama soal open legal policy. Ini yang menurut saya dan beberapa teman-teman inkonsistennya MK dalam putusan-putusannya,” ujar Feri.

Lewat putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden, asalkan pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat lain yang dipilih melalui pemilu.

Pemohon uji materi nomor 141/PUU-XXI/2023 lantas meminta Mahkamah untuk memberi penjelasan lebih lanjut, apakah yang dimaksud kepala daerah itu merupakan gubernur atau termasuk bupati dan wali kota.

Namun, dalam putusan nomor 141/PUU-XXI/2023 Mahkamah tak mampu menjawab permintaan pemohon itu. Feri bilang, Mahkamah justru berlindung di balik argumen “open legal policy”.

Baca juga: MK Tolak Gugatan Ulang Usia Capres-cawapres, Pelapor Khawatir Kasus Anwar Usman Berulang

“Kalau MK berbenturan dengan dinding politik tinggi, MK lari dari tanggung jawab, menafsirkan undang-undang itu konstitusional atau dengan cara menyatakan ini open legal policy. Ini sudah penyakit MK berulang ulang kali,” kata Feri.

“Ini kan tidak jelas, kita sendiri juga bingung kenapa tiba-tiba sekarang open legal policy dimunculkan lagi, padahal MK sudah pernah mengatakan ini adalah wewenang MK untuk menafsirkan karena ini berkaitan dengan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi,” lanjutnya.

Feri pun semakin yakin bahwa substansi Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 dimaksudkan untuk memberikan karpet merah bagi salah satu figur untuk melaju ke panggung Pemilu Presiden 2024.

Situasi ini dinilai mendegradasi marwah MK dan menggerus tingkat kepercayaan publik terhadap Mahkamah.

“Ini dramanya terlihat, MK sebagai peradilan yang mestinya menegakkan dan melindungi, tidak berani apa-apa. Publik pun hanya bisa mengutuki betapa buruknya Mahkamah Konsitusi kita,” tutur Feri.

Adapun MK menolak permohonan uji materi nomor 141/PUU-XXI/2023 tentang syarat usia capres dan cawapres yang diatur Pasal 169 huruf q Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu melalui sidang yang digelar pada Rabu (29/11/2023).

Dengan demikian, Pasal 169 huruf q UU Pemilu tetap membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun untuk mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden asalkan pernah menjabat sebagai kepala daerah atau pejabat lain yang dipilih melalui pemilu.

“Perubahan batasan usia minimal, termasuk kemungkinan menentukan batasan usia maksimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden adalah menjadi kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukannya,” kata hakim konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dalam sidang pembacaan putusan yang digelar di Gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu.

Mahkamah juga menegaskan bahwa putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 secara hukum telah berlaku sejak dibacakan dalam sidang. Sebagaimana putusan MK lainnya, putusan itu bersifat final dan mengikat.

"Jika dikaitkan dengan ketentuan norma Pasal 10 dan Pasal 47 UU MK serta Pasal 77 Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2021, maka Mahkamah berpendapat putusan a quo adalah putusan yang dijatuhkan oleh badan peradilan pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final," kata hakim konstitusi Enny Nurbaningsih.

Pemohon dalam perkara ini merupakan seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia) bernama Brahma Aryana (23).

Baca juga: Alasan MK Tolak Gugatan Ulang Syarat Usia Capres-Cawapres: Putusan Sebelumnya Final dan Mengikat

Dalam petitum permohonannya, Brahma meminta MK mengubah syarat usia minimum capres-cawapres menjadi: "40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah pada tingkat provinsi yakni gubernur dan/atau wakil gubernur".

Pemohon merasa perlu melayangkan gugatan ini menyusul kontroversi Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam Putusan MK Nomor 90 /PUU-XXI/2023, hanya lima dari sembilan hakim konstitusi yang setuju mengubah syarat usia minimum capres-cawapres.

Dari lima hakim itu, hanya tiga hakim, yakni Anwar Usman, Manahan Sitompul, dan Guntur Hamzah, yang sepakat bahwa anggota legislatif atau kepala daerah tingkat apa pun, berhak maju sebagai capres-cawapres meski belum berusia 40 tahun.

Namun, dua hakim lainnya yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh, sepakat hanya kepala daerah setingkat gubernur yang berhak mencalonkan diri sebagai RI-1 atau RI-2 sebelum usianya 40 tahun.

Baca juga: MK Tolak Gugatan Ulang Syarat Usia Capres-Cawapres

Menurut pemohon, perbedaan pemaknaan ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, jika dibaca secara utuh, hanya jabatan gubernur yang disepakati lima hakim secara bulat sebagai syarat seseorang yang belum berusia 40 tahun maju sebagai capres atau cawapres.

Selain suara hakim yang tak bulat, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 juga menuai kontroversi lantaran diketuk oleh hakim konstitusi Anwar Usman yang tak lain merupakan adik ipar Presiden Joko Widodo.

Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang terbit pada 16 Oktober 2023 itu memberikan tiket untuk keponakan Anwar Usman yang juga putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, melenggang sebagai cawapres pada Pemilu Presiden 2024 dalam usia 36 tahun, berbekal pengalamannya sebagai Wali Kota Surakarta sejak Februari 2020.

Belakangan, Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat oleh Majelis Kehormatan MK (MKMK) karena mengintervensi uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Ia dicopot dari jabatannya sebagai Ketua MK per 7 November 2023.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Akan Mundur dari PBB, Yusril Disebut Bakal Terlibat Pemerintahan Prabowo

Akan Mundur dari PBB, Yusril Disebut Bakal Terlibat Pemerintahan Prabowo

Nasional
Yusril Bakal Mundur dari Ketum PBB demi Regenerasi

Yusril Bakal Mundur dari Ketum PBB demi Regenerasi

Nasional
Hendak Mundur dari Ketum PBB, Yusril Disebut Ingin Ada di Luar Partai

Hendak Mundur dari Ketum PBB, Yusril Disebut Ingin Ada di Luar Partai

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies Dikritik karena Ingin Rehat | Revisi UU Kementerian Negara Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

[POPULER NASIONAL] Anies Dikritik karena Ingin Rehat | Revisi UU Kementerian Negara Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
Tanggal 22 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

Nasional
Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

Nasional
Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri 'Drone AI' Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri "Drone AI" Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

Nasional
Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

Nasional
Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

Nasional
Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

Nasional
Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

Nasional
15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, 'Prof Drone UI' Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, "Prof Drone UI" Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

Nasional
Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan 'Hardware'

Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan "Hardware"

Nasional
Indonesia Harus Kembangkan 'Drone AI' Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Indonesia Harus Kembangkan "Drone AI" Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com