JAKARTA, KOMPAS.com - “Drakor” atau drama korea menjadi istilah yang kerap disebut di panggung politik baru-baru ini. Bukan untuk membahas drama korea sebenarnya, istilah drakor digunakan oleh sejumlah elite untuk menggambarkan dinamika politik yang belakangan memanas.
Ini berawal dari pernyataan Presiden Joko Widodo pada pekan lalu. Jokowi bilang, terlalu banyak drama sinetron yang mewarnai persiapan Pemilu Presiden (Pilpres) 2024.
"Saya melihat akhir-akhir ini yang kita lihat adalah, terlalu banyak dramanya, terlalu banyak drakornya, terlalu banyak sinetronnya, sinetron yang kita lihat," ujar Jokowi dalam pidatonya di perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-59 Partai Golkar di Kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Senin (6/11/2023).
Padahal, kata Jokowi, pilpres mestinya diisi dengan gagasan dan ide, alih-alih drama berkepanjangan.
"Bukan pertarungan perasaan. Kalau yang terjadi pertarungan perasaan, repot semua kita," ujar Kepala Negara.
Baca juga: Kala Muhamin Singgung Kompetisi Sepak Bola, Prabowo Bicara Pemilu Jujur, Ganjar Ungkit Drakor
Kala itu, pernyataan Jokowi menuai respons beragam dari sejumlah pihak. Bakal calon presiden (capres) Koalisi Perubahan untuk Persatuan, Anies Baswedan, mengaku tak ambil pusing dengan ucapan Jokowi.
“Kita biasa-biasa saja,” ujar Anies di El Hotel Royale Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara, Selasa (7/11/2023).
Sementara, bakal capres PDI Perjuangan, Ganjar Pranowo, mengaku sependapat dengan pernyataan Jokowi yang ingin Pilpres 2024 menjadi ajang perang gagasan dan ide.
Ganjar menyebut bahwa perang gagasan itu harus didukung dengan sikap yang adil, bukan justru menghalalkan segala cara.
"Sehingga semua punya situasi, semua punya sikap yang sama, punya lapangan yang fair sehingga gagasan-gagasan itu bisa disampaikan dan kita harus jujur," kata Ganjar di Kantor CSIS, Jakarta, Selasa (7/11/2023).
Belakangan, istilah drakor disinggung oleh Ganjar. Saat berpidato usai pengundian nomor urut peserta Pilpres 2024 di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Selasa (14/11/2023), Ganjar menyebut bahwa drama-drama pemilu mestinya tak perlu ada.
“Beberapa hari ini kita sedang disuguhkan untuk menonton drakor yang sangat menarik. Drama-drama itulah yang sebenarnya tidak perlu terjadi,” kata Ganjar di kantor KPU RI, Jakarta.
Baca juga: Ganjar Disoraki Suporter Prabowo Saat Singgung Drakor
Adapun acara pengundian nomor urut itu dihadiri oleh tiga pasangan capres-cawapres peserta Pilpres 2024, juga elite partai politik.
Dalam pidatonya, Ganjar mengaku pihaknya mendengar suara kegelisahan dan suasana kebatinan di masyarakat. Kegelisahan itu datang dari tokoh agama, guru-guru bangsa, seniman, budayawan, jurnalis, ada hingga aktivis mahasiswa.
Mantan Gubernur Jawa Tengah tersebut juga menyebut bahwa demokrasi saat ini sedang tidak baik-baik saja. Oleh karenanya, butuh peran seluruh pihak untuk menjaga demokrasi.
“Saya tenang kok, dan kami ini tenang semuanya, karena kami sangat yakin ada rakyat Indonesia bersama kami untuk menjaga demokrasi di negeri ini,” ujarnya.
Ganjar bilang, perjalanan demokrasi memang terkadang lurus, kadang berliku, seperti aliran air. Namun, ia yakin, air yang mengalir itu akan mengikuti arah batin.
“Dia tidak akan bisa dibendung dengan cara apa pun. Dan kalau bendungan itu dia paksakan, dia akan tetap mencari jalannya. Muara itulah muara demokrasi yang hari ini kita idam-idamkan, dan tentu saja inilah, kesepakatan hari ini yang mesti kita jaga bersama,” ucapnya.
Ganjar mengajak semua pihak untuk memastikan reformasi berjalan ke arah yang benar dan sesuai rel. Pemilu, katanya, harus diselenggarakan dengan integritas yang jauh dari unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Ia mengingatkan bahwa amanat reformasi dan konstitusi harus menjadi pegangan demi menyelamatkan seluruh golongan, kelompok masyarakat, dan menjaga NKRI.
“Diam itu bukanlah pilihan, bicara, ungkapkan, dan laporkan praktik-praktik tidak baik yang mencederai demokrasi,” tutur Ganjar.
“Saya berterima kasih karena pasangan nomor 1 dan pasangan nomor 2 punya komitmen yang sama, kami sangat senang. Mari kita tunjukkan integritas dan kejujuran itu sampai dengan pikiran, batin, dan perkataan kita,” ucap politikus PDI Perjuangan itu.
Terkait ini, analis komunikasi politik dari Universitas Padjadjaran, Kunto Adi Wibowo, menilai, penggunaan istilah “drakor” oleh Ganjar maupun elite politik lainnya merupakan bagian dari strategi politik. Situasi politik yang belakangan memanas digunakan oleh para elite untuk menyerang kubu lawan.
“Dalam kampanye kan pasti ada saling serang dan ini sudah mulai saling serang,” kata Kunto kepada Kompas.com, Rabu (15/11/2023).
Baca juga: Soal Politik Belakangan Ini, Jokowi: Terlalu Banyak Dramanya, Drakor-nya, Sinetronnya...
Menurut Kunto, tak ada kubu yang ingin dianggap menciptakan drama politik. Sebaliknya, masing-masing pihak berupaya menempatkan diri sebagai korban dari drama.
Sebab, mereka yang dianggap menjadi korban berpeluang mendapat keuntungan elektoral lebih besar. Sebaliknya, yang dipandang sebagai pencipta drama mungkin kehilangan simpati.
“Jadi, kenapa mereka saling serang, ya karena mereka ingin efek drama ini berkurang,” ucap Kunto.
Sementara, peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN) Firman Noor mengatakan, sudah saatnya para peserta Pilpres 2024 adu gagasan. Apalagi, waktu kampanye pemilu tinggal menghitung hari.
Memang, terjadi eskalasi politik jelang tahapan pencalonan presiden dan wakil presiden kemarin. Namun, bagaimanapun KPU telah menetapkan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sebagai capres-cawapres sebagai peserta Pemilu Presiden 2024.
“Idealnya move on, kita mulai bertanding ide, menjual gagasan, bukan menjual mimpi, secara terbuka dan berani untuk dikritik,” kata Firman kepada Kompas.com, Senin (13/11/2023).
Baca juga: Profil Capres-Cawapres Nomor Urut 3 Ganjar-Mahfud, Parpol Pendukung, dan Timses
Dengan panasnya iklim politik saat ini, Firman menduga, situasi politik ke depan akan tetap diwarnai kampanye negatif, bahkan kampanye hitam. Oleh karenanya, elite politik diminta untuk menahan diri.
Para elite diingatkan untuk berpolitik secara dewasa dan matang. Ketimbang memanaskan panggung pemilu dengan kampanye hitam, kata Firman, lebih baik masing-masing kubu saling perang gagasan.
“Di sinilah kemudian letak pentingnya elite politik untuk menjaga proporsinya agar tidak berlebihan, sehingga bisa mengundang satu situasi yang kontraproduktif dari makna pemilu yang sehat itu,” ucap Firman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.