Namun kalau guyon itu kemudian dipahami atau ditanggapi berbeda sebagai ‘kode keras’ oleh aparat dan perangkat pemerintahan di bawah kendali presiden, dampaknya bisa kontraproduktif, meminjam guyon Cak Imin “loh loh nda bahaya ta”.
Misalnya, saat pidato di Rakernas LDII 2023 di Jakarta, Presiden Jokowi pun berguyon, membahas sajian seni pencak silat di pembukaan acara, dengan menyinggung posisi Prabowo sebagai Ketua Umum Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia.
"Sekali lagi, dibutuhkan kepemimpinan yang kuat, yang ditampilkan tadi pencak silat tadi benar karena ketuanya Pak Prabowo," kata Jokowi yang sontak disambut tepuk tangan dan tawa hadirin pada Selasa, 7 November 2023.
Tahun lalu, secara kebetulan, pada tanggal dan bulan yang sama, Senin 7 November 2022 di puncak peringatan ulang tahun Perindo di Jakarta, Presiden Jokowi juga meng-endorse Prabowo.
“Dua kali di pilpres juga menang. Mohon maaf, Pak Prabowo. Kelihatannya setelah ini jatahnya Pak Prabowo," kata Jokowi di puncak peringatan ulang tahun Perindo di INews Tower Jakarta.
Seloroh dengan mimik dan gestur yang santai dan boleh saja dianggap sebagai guyonan, meski kesan ‘endorse’ terasa begitu kuat. Apalagi belakangan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka resmi mendaftar sebagai cawapres Prabowo.
Sehingga bila kemudian ada guyonan yang kembali memberi kesan Presiden Jokowi meng-endorse Prabowo, maka wajar bila ada yang memaknainya bukan lagi sekadar guyon mencairkan suasana.
Karena bila endorse disampaikan kepala negara dan kepala pemerintahan, di tengah kontestasi pilpres, sehingga kemudian dipahami sebagai ‘arahan politik’ oleh sejumlah pihak, terutama aparatur negara tentu saja dapat berpengaruh pada netralitas pemilu.
Apalagi ‘kode keras’ dibalut guyonan di atas panggung (on stage), kemudian diikuti dengan semacam operasi ‘senyap’ di belakang panggung (backstage) politik, tentu menjadi alamat buruk.
Karena yang bisa terjadi kemudian adalah terlibatnya aparat negara, seperti kementerian, BUMN, birokrasi, hingga TNI/Polri, baik sengaja dan terstruktur, maupun atas inisiatif orang per orang.
Apalagi pemerintah memiliki berbagai fasilitas dan sejumlah kebijakan, seperti alokasi bantuan sosial (bansos), dan ada 271 penjabat kepala daerah yang diangkat pemerintah pusat jelang pilpres nanti, terdiri dari 24 gubernur, 56 wali kota, dan 191 bupati.
Terkait penjabat kepala daerah ini, Presiden Jokowi pada 30 Oktober 2023 lalu, bahkan menyebut akan mengawasi mereka hari-per hari.
Semua merupakan potensi politik, yang kalau salah kelola, kemudian bergerak mendukung satu kandidat atau menghambat kontestan lain, tentu yang menjadi adalah abuse of power.
Jika terjadi, maka merupakan pelanggaran berat terhadap demokrasi dan konstitusi. Ini yang mesti diwaspadai bersama.
Namun, bila ada capres yang mau tampil atau mencitrakan diri ‘gemoy’, tentu boleh-boleh saja, apalagi dengan goyun dan santuy yang memang diperlukan dalam kondisi politik yang kerap kali ‘menegangkan’ ini. Pesta rakyat harus riang gembira.
Sehingga siapapun, terutama yang memiliki kendali terhadap kekuasaan, harus tetap menjaga sikap, konten dan pilihan diksi yang tepat. Apalagi oleh seorang presiden yang bahkan kedipan matanya pun pengaruhnya bisa sama ‘kuatnya’ dengan perintah lewat selembar surat.
Bisa dibayangkan, bila guyon rasa endorse dari presiden kepada capres tertentu kadar-nya overdosis secara politik, masuk ranah intervensi, dan ikut memengaruhi netralitas dari ‘‘presidential tools’, tentu menjadi berbahaya bagi politik-demokrasi, dan bakal membawa pemilu 2024 menjauh dari jurdil.
Jika begitu konflik politik hanya tinggal menunggu waktu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.