Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

PSI Memang Beda, Muda tapi Pro-Status Quo

Kompas.com - 07/11/2023, 06:03 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

BIASANYA partai politik baru lahir sebagai antitesis dari kekuasaan yang sedang berkuasa karena adanya sumbatan politik di dalam jejaring kekuasaan yang menopang Istana penguasa, lalu menyebabkan kemandegan jalur aspirasi dari bawah ke atas.

Atau partai baru juga bisa lahir di saat terjadi kekosongan kekuasaan yang membutuhkan kontestasi kompetitif untuk mengisinya.

Sehingga bermunculan berbagai kekuatan baru dalam bentuk partai politik yang mengklaim diri sebagai perwakilan dari berbagai aspirasi yang ada di dalam masyarakat.

Kemudian, di saat kekuasaan baru terbentuk, namun dirasa masih belum mampu menyelesaikan masalah yang ada di satu sisi dan dianggap belum membereskan proses transisi demokrasi di sisi lain, lalu muncul beberapa partai politik baru lainnya, yang pada tataran kefiguran, sebenarnya masih dimotori oleh tokoh-tokoh lama.

Pada logika pertama, kita pernah menyaksikan kelahiran dan sepak terjang Partai Rakyat Demokratik (PRD) sebagai bukti nyata.

Partai besutan Budiman Soedjatmiko dan Andi Arief cs tersebut adalah partai yang lahir beberapa waktu sebelum Presiden Soeharto lengser, karena anak muda tersebut menganggap telah terjadi sumbatan aspirasi politik di dalam sistem politik yang dibangun oleh Soeharto.

Walhasil, partai politik yang kerap dilabeli sebagai partai kiri oleh rezim Orde Baru tersebut benar-benar harus merasakan pahitnya beroposisi nonparlementer terhadap kekuasaan yang sedang berkuasa.

Setelah kejatuhan Soeharto, logika kedua berlaku, di mana partai-partai baru lainnya muncul untuk ikut berlaga dalam kontestasi konstitusional untuk menentukan kekuatan baru pengganti rezim lama yang telah tumbang.

Kita ketahui kemudian lahirlah Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Keadilan (sekarang menjadi PKS – Partai Keadilan Sejahtera), Partai Bulan Bintang (PBB), dan beberapa partai gurem lainnya.

Namun dalam perjalanannya, partai-partai yang lahir dengan logika kedua belum mampu menghadirkan konsolidasi ekspektasi publik di dalam kebijakan-kebijakannya.

Pelengseran KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai presiden yang terpilih pascapemilihan 1999 menjadi titik balik bahwa ternyata tokoh-tokoh yang dinaikkan ke puncak kekuasaan belum bisa bersepakat dalam berbagai persoalan kebangsaan.

Maka lahir pula kemudian Partai Demokrat, Partai Gerindra, Partai Hanura, lalu Partai Nasdem. Rerata tokoh sentralnya adalah tokoh-tokoh lama yang pernah eksis berperan besar di dalam salah satu partai lama.

Dalam tahun-tahun selanjutnya, setelah proses demokratisasi semakin mendalam, beberapa model kelahiran partai politik baru mulai muncul.

Setelah Partai Demokrat dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) berkuasa selama 10 tahun, lalu partai oposisi ketika itu, PDIP dan koalisi, berhasil mengantarkan kadernya ke puncak kekuasaan, lalu beberapa pembelahan kepentingan politik mulai menajam lagi.

Konglomerat Hary Tanoesoedibjo merealisasikan ketidakpuasan politiknya dengan mendirikan partai politik baru, bernama Partai Persatuan Indonesia (Perindo).

Beliau yang sempat lompat sana lompat sini, akhirnya memberanikan diri untuk membangun partai politik sendiri, didukung jejaring media MNC Group yang cukup gigantis, untuk memperjuangkan kepentingannya.

Berdirinya Partai Perindo sangat bisa dipahami oleh publik. Tokoh sentralnya terbilang sangat "kaya", masuk kategori elite ekonomi nasional, punya kapasitas yang mumpuni untuk bergaul di kalangan elite lainnya, baik elite politik maupun elite ekonomi lainnya.

Jika kemudian beliau berhasil mendirikan Partai Perindo, maka dianggap sangat biasa saja oleh berbagai kalangan publik.

Permakluman publik tersebut mirip dengan permakluman yang diberikan saat SBY, Prabowo Subianto, dan Surya Paloh mendirikan partai politik baru sebelumnya.

Toh mereka memang punya ketokohan tersendiri, dianggap sudah ada dalam makom politik yang memungkinkan untuk bermanuver politik semacam itu.

Maka saat pentolan MNC Grup tersebut ikut meramaikan pendirian partai politik baru, publik memaklumi dengan cara yang tidak berbeda.

Di sela-sela itu, ada partai politik yang benar-benar baru, lakon-lakonnya hampir mirip dengan lakon-lakon PRD dua dekade lalu. Diaku sebagai tokoh-tokoh muda, kekinian, dan mengaku mewakili kepentingan anak muda dengan cara dan gaya yang kekinian pula.

Namun berbeda dengan PRD yang setelah bubar para tokoh-tokoh utamanya menemukan partai-partai politik lain yang dianggap cocok untuk mencantelkan visi misi mereka, sehingga ketidakberlanjutan eksistensi PRD dianggap sangat masuk akal.

Awalnya karena gagal memenuhi kualifikasi perundangan setelah kontestasi 1999, lalu mulai meredup, dan satu persatu tokohnya menemukan biduk lainnya, yang dianggap layak.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menempuh cara yang agak anomali. Mengaku mewakili generasi baru, dengan segala diferensiasi kepentingannya, tapi justru mengklaim dengan sangat gamblang sebagai "sekrup" kekuasaan yang sedang berkuasa.

Pertanyaannya kemudian, mengapa harus mendirikan partai baru jika ternyata hanya menjadi "sendal kekinian" untuk kekuasaan yang ada.

Menjadi "one of fans of existing power" mengandung arti bahwa PSI mendukung kekuasaan yang ada, sekaligus ingin mempertahankan kondisi yang sedang diciptakan oleh kekuasaan yang berkuasa.

Namun harus diingat, kekuasaan yang ada sudah memiliki jejaring kuasa koalisi yang mendukungnya.

Dengan mendirikan partai baru untuk mendukung, berarti tidak satupun partai pendukung kekuasaan yang sedang berkuasa yang cocok dengan kepentingan PSI sehingga harus mendirikan partai baru, tapi pada ujungnya tujuannya justru memasang badan untuk kekuasaan yang sama.

Dengan kata lain, yang dilakukan PSI sejatinya hanya menambah kamar di rumah yang sama, untuk penghuni baru yang ingin diaku sebagai bagian dari keluarga besar koalisi pendukung kekuasaan.

Kamar tersebut diaku sebagai kamar milik generasi muda yang justru kurang mewakili energi politik anak muda, karena ternyata pro status quo.

Dengan begitu, alasan kelahiran PRD tentu terasa jauh lebih masuk akal secara politik ketimbang alasan di balik pendirian PSI.

Dalam logika tersebut, PSI ibarat "anak kos" yang berjuang habis-habisan untuk menjadi bagian dari keluarga pemilik "kos" dengan cara menyediakan kavling tanah di samping atau di salah satu sisi bangunan "kos" lama, lalu membangun kamar baru yang melekat ke bangunan lama.

Sementara di sisi lain, PSI mengklaim memiliki "kebaruan" yang layak ditawarkan kepada kekuasaan yang sedang berkuasa.

Bagaimana menjelaskan ini? Nampaknya sederhana, yakni "faktor" kemalasan politik di satu sisi dan faktor keengganan kritis apalagi berseberangan dengan kekuasaan di sisi lain.

PSI ibarat sosok anak yang malas memperjuangkan sesuatu "kebaruan" yang mereka bawa, pun malas untuk memperjuangkan "kebaruan" tersebut di hadapan publik nasional, sehingga cara terbaik dan mudah adalah dengan menjadi "kaki tangan" kekuasaan yang ada.

Sejatinya susah untuk menjelaskan hal tersebut. Bagaimana bisa diaku sebagai "kebaruan", jika ternyata dalam tataran praksis PSI justru ingin digandeng oleh sesuatu yang lama, yakni kekuasaan yang sedang berkuasa.

Di sinilah logika di mana PRD jauh lebih layak mendapat kredit point ketimbang PSI.

Kemudian, apakah kebaruan tersebut berupa cara dan gaya? Cara yang lebih digitalized, milenial, atau gaul, misalnya?

Rasanya semua partai politik, termasuk penguasa yang sedang berkuasa, juga sudah bermain di ranah yang sama.

Sehingga tak bisa tidak, sebenarnya yang dibawa oleh PSI bukan kebaruan, tapi hanya "partai baru" yang ingin mendirikan kamar kekuasaan baru di dalam kekuasaan lama, yang ternyata tugas utamanya adalah menjadi pengawal politik di saat lawan-lawan penguasa lama mencoba mengusik ketenangan kekuasaan yang ada.

Atau apakah PSI sebenarnya hanya wajah baru yang dipakai oleh wajah-wajah lama untuk menunggangi pergeseran demografis sebagaimana yang sedang terjadi di hari ini, untuk tetap bisa eksis di dalam permainan kekuasaan? Hanya PSI dan Tuhan yang mengetahuinya.

Namun menjelang perhelatan politik 2024 nanti, PSI kembali secara nyata dan terang-terangan telah membuktikan itu.

PSI mencari aman dengan menggandeng tangan kekuasaan dan menjadikannya Ketua Umum secara tiba-tiba, lalu secara "tanpa tedeng aling-aling" menempel kepada pasangan calon yang diproyeksikan akan mendapat mandat dari penguasa Istana.

Bandingkan dengan partai politik yang didirikan oleh Emmanuel Macron di Perancis pada 2016 lalu. Partai yang belum lama ini berganti nama menjadi Renaissance (RE), di mana sebelumnya dikenal dengan nama La République En Marche (sering disingkat LREM, LaREM atau REM, yang berarti 'Republik Bergerak) adalah partai politik Perancis berhaluan tengah dan liberal yang lahir di antara perseteruan kekuatan Kiri dan Kanan di La France julukan lain untuk negara Perancis.

Jadi Renaissance /RE dan Macron memang lahir sebagai kekuatan baru yang mendobrak tradisi pembelahan politik akut di Perancis.

Sehingga sangat wajar jika RE langsung diterima dengan antusias oleh para pemilih Perancis yang kemudian membawa RE mendapatkan jumlah kursi signifikan di Parlemen, lalu mengantarkan Emmanuel Macron menjadi presiden muda Perancis.

Dengan kata lain, PSI adalah partai politik yang terlahir sungsang karena ditopang oleh konstruksi logika dan tanggung jawab historis yang bertentangan dengan semangat kemudaan anak muda di satu sisi dan tidak simetris dengan idealitas kelahiran parpol di sisi lain.

Padahal, sebagaimana dikatakan oleh anggota senator kritis Amerika Serikat, Elizabeth Warren, “Young people have the ability to challenge the status quo and push for progressive reforms.”

Bahkan, mantan Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern, suatu waktu pernah mengatakan bahwa “The power of youth in politics lies in their ability to bring about transformational change and challenge outdated systems.”

Jadi kesimpulannya adalah bahwa PSI sejatinya memang berbeda, tapi bukan dengan perbedaan sebagaimana seharusnya.

PSI berbeda karena muda, labil, dan Pro-Status Quo, perbedaan yang membuatnya tak layak disetarakan dengan Renaissance dan Emmanuel Macron, tapi justru layak diposisikan sekamar dengan Partai Golkar yang "bucin" tanpa konteks kepada kekuasaan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Zulhas Sebut Kader PAN yang Siap Jadi Menteri, Ada Yandri Susanto dan Eddy Soeparno

Nasional
Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Prabowo: Bung Karno Milik Seluruh Rakyat, Ada yang Ngaku-ngaku Seolah Milik Satu Partai

Nasional
Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Jelang Munas Golkar, Soksi Nyatakan Dukung Airlangga Jadi Ketum Lagi

Nasional
Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Prabowo: Kalau Tak Mau Kerja Sama, Jangan Ganggu, Kami Mau Kerja...

Nasional
PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

PAN Doa Dapat Banyak Jatah Menteri, Prabowo: Masuk Itu Barang

Nasional
KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

KPK Cegah Pengusaha Muhaimin Syarif ke Luar Negeri Terkait Kasus Gubernur Malut

Nasional
Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

Zulhas: Banyak yang Salah Sangka Prabowo Menang karena Bansos, Keliru...

Nasional
Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

Seluruh DPW PAN Dorong Zulhas Maju Jadi Ketua Umum Lagi

Nasional
Di Depan Prabowo, Politisi PAN Berdoa Jatah Menteri Lebih Banyak dari Perkiraan

Di Depan Prabowo, Politisi PAN Berdoa Jatah Menteri Lebih Banyak dari Perkiraan

Nasional
Ditjen Imigrasi Periksa 914 WNA, Amankan WN Tanzania dan Uganda karena Diduga Terlibat Prostitusi

Ditjen Imigrasi Periksa 914 WNA, Amankan WN Tanzania dan Uganda karena Diduga Terlibat Prostitusi

Nasional
Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Disambut Hatta Rajasa, Prabowo Hadiri Rakornas Pilkada PAN

Nasional
Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Tambah Dua Tanker Gas Raksasa, Pertamina International Shipping Jadi Top Tier Pengangkut LPG Asia Tenggara

Nasional
Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan 'Food Estate'

Jaksa KPK Diminta Hadirkan Auditor BPK yang Diduga Terima Suap Terkait Temuan "Food Estate"

Nasional
Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Kakorlantas Minta Personel Pengamanan WWF di Bali Jaga Etika

Nasional
KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

KPU Pastikan Verifikasi Data Dukungan Calon Perseorangan Pilkada 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com