Narkotika telah merampas kebahagiaan banyak keluarga dan masa depan anak-anak muda Indonesia, menaik turunkan produktivitas dan daya saing. Korban narkotika menjadi beban masyarakat dan negara.
Keempat, adalah radikalisme dan terorisme. Ini menjadi ancaman serius bagi kesatuan bangsa.
Radikalisme tumbuh subur akibat cara pandang yang sempit. Menempatkan diri atau kelompoknya dalam posisi paling benar dari orang atau kelompok lain.
Sementara terorisme adalah tindakan kriminal atau kekerasan yang didasarkan atas pemahaman yang radikal itu. Radikalisme memang tidak selalu menghasilkan aksi terorisme, tetapi aksi terorisme selalu berakar dari pemahaman atau ideologi radikal.
Radikalisme dan terorisme faktanya telah tumbuh dan berkembang di Tanah Air, memicu lahirnya intoleransi dan arogansi kelompok yang sering pula berujung pada konflik, kekerasan dan perseteruan yang merusak perdamaian dan kohesi sosial.
Paham semacam ini tentu tidak bisa dibenarkan, dan harus dilawan atau ditolak eksistensinya karena sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan.
Kelima, menyebarkan hoax atau fitnah lewat media sosial. Ini adalah satu problem mendasar yang kerap memicu terjadinya polarisasi dan pertikaian atau konflik di masyarakat, yang tentu saja mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Majunya teknologi digital lewat platform media sosial yang beragam, ternyata belum berbanding lurus dengan kapasitas para penggunanya. Sehingga alih-alih digunakan kalangan muda untuk produktif, yang terjadi justru kontraproduktif, jempol lebih capat merespons daripada nalar atau otak.
Ini tentu perlu disadari bersama, generasi muda kekinian harus adaptif dan menjadi pengguna media sosial yang bijak. Ruang dunia maya juga mesti sehat, cerah dan menginspirasi.
Keenam, kurangnya etos kerja. Salah satu persoalan utama yang selama ini juga turut menarik turunkan produktivitas serta daya saing bangsa. Minimnya etos kerja anak-anak muda dapat dilihat dengan mudah dalam aktivitas keseharian.
Tidak disiplin, datang terlambat, kurang inovasi atau miskin kreativitas, nongkrong habiskan waktu untuk ngobrol ngalor-ngidul, hingga anak sekolah atau mahasiswa yang malas belajar dan suka bolos, adalah pangkal dari minimnya komitmen dan etos kerja.
Kultur atau vibes yang tentu saja tidak kondusif bagi kemajuan anak muda sebagai satu entitas bangsa.
Dampaknya bisa dilihat, banyak anak-anak muda yang tinggal di daerah-daerah yang relatif kaya sumber daya alamnya, tapi kehidupannya miskin dan tertinggal.
Masih kurangnya perhatian juga dukungan pemerintah, pusat dan daerah memang turut menjadi soal, tapi ketiadaan komitmen dan etos kerja dalam diri pemuda masa kini juga menjadi problem yang mendasar.
Lantas untuk menyikapi realitas yang ada, apa upaya atau langkah minimal yang bisa dilakukan pemuda?
Sudah barang tentu dalam memaknai hari Sumpah Pemuda, komitmen kolektif kekinian itu bisa dilakukan. Yakni dengan bersumpah dan berjanji pada diri, untuk menjadi pribadi yang lebih baik, sehingga mampu berkontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara.
"Kami pemuda-pemudi Indonesia, bersumpah dan berjanji: tidak akan korupsi; selalu menjaga lingkungan hidup dengan tidak membuang sampah atau limbah sembarangan; tidak akan memakai narkotika; menolak paham radikalisme dan terorisme; melawan hoaks; serta akan meningkatkan etos kerja untuk Indonesia yang lebih baik, maju dan bermartabat".
Nah, setelah membaca kalimat atau paragraf di atas dengan sungguh-sungguh dan sepenuh hati, artinya kita baru saja secara kolektif mengikrarkan sumpah dan janji bersama sebagai bentuk komitmen pemuda Indonesia yang hidup di era kekinian.
Semoga terpatri dalam diri masing-masing dan kita konsisten dalam menjalankannya. Selamat hari Sumpah Pemuda, maju dan jaya pemuda Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.