“Makan minum rapatnya kalau totalnya Rp 54 juta,” kata Yenti.
“Yang konsumsi dan ibu hamil dan pendamping malah tidak ada,” tambahnya.
Saat mencermati dokumen itu lebih jauh, Frido dan Yenti mendapati anggaran perencanaan program Pengelolaan Pelayanan Kesehatan Ibu Hamil ternyata lebih banyak dihabiskan untuk rapat koordinasi.
Dinas tersebut juga merencanakan pengeluaran untuk membayar sewa gedung pertemuan selama tiga hari. Padahal pemerintah daerah sudah memiliki aula gedung pertemuan.
Kemudian, mereka juga menganggarkan honorarium untuk pembicara dalam rapat-rapat koordinasi, biaya perjalanan dinas dalam kota Rp 54 juta, dan perjalanan dinas luar kota Rp 90 juta.
“Tadi kan di sana jasa pelayanan ibu hamil, kenapa perjalanan dinasnya Rp 144 juta,” tutur Frido.
Menurut Frido dan Yenti, alokasi anggaran (belanja jasa) untuk membayar pekerja teknis pelayanan kesehatan seperti dokter dan perawat masih masuk akal.
Baca juga: KPK Sebut Semua Bakal Capres-Cawapres Sudah Lapor LHKPN
Sebab, keberadaan mereka berdampak langsung kepada ibu hamil. Namun, dalam dokumen perencanaan itu anggaran justru habis untuk perjalanan dinas dan rapat.
Idealnya, sebanyak Rp 366,5 juta dari Rp 424,3 juta dikurangi belanja barang Rp 58 juta merupakan belanja jasa yang dampaknya bisa dirasakan ibu hamil.
Setelah ditelisik, ternyata belanja jasa untuk ibu hamil hanya sekitar Rp 200 juta.
“Berarti 200 itu habis ke mana? Ini kan untuk rapat dan lain-lain,” kata Frido.
Adapun dokumen yang dibongkar Frido dan Yenti nantinya akan diolah menjadi data tematik yang lebih sederhana dan mudah dipahami publik.
Data tersebut akan bisa diakses masyarakat melalui dashboard SIPD RI yang akan ditetapkan sebagai “aplikasi umum pemerintah daerah”.
Kelak, hanya melalui satu dashboard itu presiden, jajaran pemerintah pusat, serta masyarakat bisa melihat apakah pemerintah daerah sudah tepat dalam menyusun anggaran.
Baca juga: Ribuan Aplikasi Pemerintah Disebut Jadi Celah Korupsi, Pemda Didorong Gunakan SIPD