Sama dengan kubu 98 advokat, Rudy menjadikan batas atas usia hakim konstitusi dan hakim agung yang tidak boleh melebihi 70 tahun sebagai basis argumentasi.
Ia juga menyinggung angka harapan hidup Indonesia yang disebut hanya 68,25 tahun. Ia juga menyinggung para Presiden RI yang tak pernah mencapai 70 tahun.
Dengan ketiadaan batasan usia tertua, Prabowo yang berusia 72 tahun dapat terus berharap dirinya menjadi presiden.
MK juga menolak gugatan Wiwit dkk agar Pasal 169 huruf d UU Pemilu membatasi secara spesifik pelanggar HAM berat atau pihak terlibat penculikan aktivis dan penghilangan paksa untuk maju jadi capres-cawapres.
Alhasil, Prabowo, Komandan Tim Mawar yang diduga terlibat dalam kasus-kasus di atas di sekitar kejatuhan rezim Orde Baru itu bisa bernapas lega.
Majelis hakim berpendapat, Pasal 169 huruf d melalui frasa "tindak pidana berat lainnya" justru telah memiliki makna yang sangat luas, sehingga tak dibutuhkan pemaknaan spesifik yang dianggap malah berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
"Yaitu semua jenis tindak pidana berat, termasuk tindak pidana yang dimaksudkan oleh para pemohon agar dimasukkan dalam perluasan pemaknaan norma Pasal 169 huruf d UU 7/2017, sebagaimana petitum permohonan para pemohon," jelas hakim konstitusi Daniel Foekh membacakan pertimbangan putusan.
"Terlebih, apabila dicermati lebih jauh dalil-dalil permohonan para pemohon, khususnya berkenaan dengan keinginan untuk memasukkan atau menambahkan jenis tindak pidana berat sebagaimana dalam petitum permohonannya, tanpa memberikan penegasan apakah jenis tindak pidana berat yang dimaksudkan cukup dengan adanya anggapan, asumsi, dugaan, telah ada penyelidikan, penyidikan atau bahkan telah ada putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap," ungkap dia.
Baca juga: MK Nyatakan Gugatan Usia Capres Maksimum 70 Tahun Tidak Dapat Diterima
MK menegaskan, seandainya pun permohonan ini dikabulkan, maka jenis tindak pidana berat yang diatur pada pasal itu harus telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Dalam petitum gugatannya, Wiwit dkk meminta supaya larangan itu berbunyi "tidak pernah mengkhianati negara, tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi, tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran HAM berat, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi, serta tindak pidana berat lainnya.".
Mereka juga mengutip Pasal 7A UUD 1945 yang mengatur tentang pemberhentian presiden dan wakil presiden apabila "terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden".
MK juga tak mengabulkan keinginan Gulfino agar kesempatan seseorang maju capres-cawapres dibatasi paling banyak 2 kali.
Majelis hakim menilai, gugatan tersebut tidak beralasan menurut hukum.
Pasalnya, Pasal 169 huruf n UU Pemilu yang diminta diubah telah memiliki isi/makna norma yang cukup jelas dan tegas, yakni batasan hanya berlaku untuk masa jabatan presiden dan wakil presiden terpilih, bukan kesempatan dalam pencalonan.
Baca juga: MK Tolak Gugatan Pelanggar HAM Tak Bisa Maju Capres
"Sehingga, manakala pemohon meminta agar Mahkamah memberikan makna tambahan (yang sama sekali baru dan tidak berkaitan dengan makna dari rumusan aslinya), yaitu mengenai pembatasan frekuensi jumlah pencalonan maksimal 2 kali, permintaan demikian tidak saja membuat makna baru atas norma Pasal 169 huruf n UU 7/2017 namun juga menimbulkan ketidakpastian hukum," jelas hakim konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan putusan.