PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) yang menggemparkan itu memang tidak menunjuk batang hidung siapa pun. Namun santer publik tafsirkan, putusan MK tersebut niscaya melapangkan jalan bagi Prabowo Subianto, selaku bakal capres, untuk memilih Gibran Rakabuming Raka sebagai pendampingnya di kontestasi pilpres 2024.
Semakin "serasi" karena Prabowo dan Gibran sama-sama lahir bulan Oktober.
Catatan kecil ini menyoroti putusan MK tersebut dari sisi capres Prabowo dan cawapresnya (kemungkinan adalah Gibran).
Pertama, dari sisi Prabowo. Tanggal 17 Oktober 2023 ini, Prabowo berumur 71 tahun. Kisaran umur segitu adalah setara dengan angka harapan hidup orang DKI Jakarta, mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS).
Kalkulasi di atas kertas dengan menjadikan angka dari BPS itu sebagai acuan, tersedia alasan untuk khawatir akan kesanggupan Prabowo untuk menjalankan tugas kepresidenan--sekiranya ia terpilih--secara efektif.
Saya sendiri hari-hari belakangan ini terhantui oleh penampakan anjloknya kapasitas kognitif Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, pada berbagai kesempatan kenegaraan.
Begitu parahnya kondisi Biden, sampai-sampai ada kalangan yang menyebut tokoh kelahiran tahun 1941 silam itu sudah semestinya meninggalkan White House menuju nursing house alias panti wreda.
Kembali ke Prabowo. Dengan kondisi yang mungkin saja mengharuskannya untuk beristirahat penuh dari kursi presiden, rakyat Indonesia bisa saja mendadak sontak harus menjalani kehidupan di bawah kepemimpinan wakil presiden.
Dengan hitung-hitungan sedemikian rupa, terlebih bagi capres yang usianya sangat berdekatan dengan batas tertinggi angka harapan hidup orang Jakarta, menjadi kemutlakan baginya untuk menunjuk cawapres yang punya kesiapan untuk menerima peralihan tongkat kepemimpinan secara tiba-tiba.
Anggaplah cawapres itu, pada masa pra hari pencoblosan, begitu memesona berkat prospeknya sebagai pendulang suara.
Namun kelak setelah ia dilantik sebagai wapres, apalagi dalam situasi genting seperti tergambar di atas, besaran jumlah suara bukan lagi sesuatu yang paling dibutuhkan.
Sebaliknya, tentu, kompetensi kepemimpinan sang wapres yang akan menjadi penentu rubuh tegaknya Indonesia.
Dengan kerangka berpikir tersebut, dapat dinyatakan: betapa tidak bertanggung jawabnya Prabowo sekiranya ia tidak secara sungguh-sungguh berpikir sejauh itu saat memilih cawapresnya.
Kesembronoan itu pun layak dipotret sebagai bentuk penistaan jabatan wakil presiden oleh sang presiden. Yang terbayang, wakil presiden bukan sosok yang benar-benar Prabowo butuhkan.
Wakil presiden seolah dibelai-belai sebelum pilpres, namun--deja vu--akan langsung diabaikan lalu tak berfungsi sehari setelah pelantikan.
Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, memahami karakter Prabowo yang sekeras batu cadas, wakil presiden nantinya tidak akan cukup bernyali untuk "menantang" arah kebijakan Presiden Prabowo.
Presiden beristirahat total, wakil presiden malfungsi, alamat kapal akan tenggelam! Dan bencana itu bermula dari ulah presiden yang memang sesungguhnya menyepelekan nilai penting jabatan wakil presiden.
Tambah menyesakkan; kendati tidak bermanfaat, wakil presiden yang nirkapabilitas itu tetap harus digaji.
Sekarang, kedua, dari sisi wakil presiden.
Pernyataan bahwa Indonesia perlu memberikan ruang lebih luas bagi hadirnya generasi muda di pelataran kepemimpinan nasional, sebenarnya merupakan narasi baheula.
Pasalnya, jauh-jauh hari, bahkan sebelum Proklamasi Kemerdekaan, sejak Nusantara masih bernama Hindia Belanda, sekian banyak tokoh pemimpin nasional memang bercirikan usia belia. Dua di antaranya adalah Sukarno dan Mohammad Natsir.
Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia pada usia 26 tahun. Natsir memimpin Jong Islamieten Bond (Bandung) pada umur 20 tahun, sebaya dengan Tan Malaka ketika ia terlontar ke kursi elite di pergerakan komunis.
Ada pula Mohammad Hatta, yang menjadi bendahara Jong Islamieten Bond (Padang) selepas umur 15 tahun.
Nama-nama tersebut menyentak kesadaran khalayak. Bahwa, siapa pun yang hari ini masih skeptis akan kesanggupan anak muda dalam membawa bahtera menjelajah samudera, sesungguhnya adalah orang-orang yang buta sejarah.
Dengan dasar berpikir seperti itulah pemunculan Gibran bin Joko Widodo, selaku nama yang riuh disebut-sebut sebagai calon RI-2-nya Prabowo, dibingkai sebagai ikon kebangkitan kawula muda yang akan mengangkat Indonesia ke masa kemasyhurannya.
Tapi mari kita uji secara sederhana.
Sukarno terkenal, namun seberapa terkenal ayahnya? Natsir punya prestasi cemerlang, siapa gerangan ayahnya? Hatta punya reputasi mentereng, adakah yang tahu nama ayahnya? Pun Tan Malaka, siapa pula ayahnya?
Bisa dipastikan hanya segelintir orang saja yang bisa menyebut nama orangtua tokoh-tokoh legendaris di atas.
Alhasil, dapatlah disimpulkan, kedahsyatan Natsir, Sukarno, Tan Malaka, dan Hatta sama sekali tidak mendompleng nama orangtua mereka.
Jadi, narasi ihwal kepemimpinan Indonesia masa kini dan masa depan selayaknya tidak berhenti pada dimensi usia belaka.
Hanya kaum muda yang kehebatannya dihasilkan oleh akal budi mereka sendiri, tanpa embel-embel 'bin ayah', yang boleh dikagumi serta digelarkan karpet merah ke Jalan Medan Merdeka.
Sebaliknya, orang muda yang nirgagasan lagi tuna kinerja, namun terdongkrak lebih (apalagi semata-mata) berkat nama orangtuanya, sewajarnya masuk kotak saja.
Allahu a'lam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.