Bahkan, tidak tertutup kemungkinan, memahami karakter Prabowo yang sekeras batu cadas, wakil presiden nantinya tidak akan cukup bernyali untuk "menantang" arah kebijakan Presiden Prabowo.
Presiden beristirahat total, wakil presiden malfungsi, alamat kapal akan tenggelam! Dan bencana itu bermula dari ulah presiden yang memang sesungguhnya menyepelekan nilai penting jabatan wakil presiden.
Tambah menyesakkan; kendati tidak bermanfaat, wakil presiden yang nirkapabilitas itu tetap harus digaji.
Sekarang, kedua, dari sisi wakil presiden.
Pernyataan bahwa Indonesia perlu memberikan ruang lebih luas bagi hadirnya generasi muda di pelataran kepemimpinan nasional, sebenarnya merupakan narasi baheula.
Pasalnya, jauh-jauh hari, bahkan sebelum Proklamasi Kemerdekaan, sejak Nusantara masih bernama Hindia Belanda, sekian banyak tokoh pemimpin nasional memang bercirikan usia belia. Dua di antaranya adalah Sukarno dan Mohammad Natsir.
Sukarno mendirikan Partai Nasional Indonesia pada usia 26 tahun. Natsir memimpin Jong Islamieten Bond (Bandung) pada umur 20 tahun, sebaya dengan Tan Malaka ketika ia terlontar ke kursi elite di pergerakan komunis.
Ada pula Mohammad Hatta, yang menjadi bendahara Jong Islamieten Bond (Padang) selepas umur 15 tahun.
Nama-nama tersebut menyentak kesadaran khalayak. Bahwa, siapa pun yang hari ini masih skeptis akan kesanggupan anak muda dalam membawa bahtera menjelajah samudera, sesungguhnya adalah orang-orang yang buta sejarah.
Dengan dasar berpikir seperti itulah pemunculan Gibran bin Joko Widodo, selaku nama yang riuh disebut-sebut sebagai calon RI-2-nya Prabowo, dibingkai sebagai ikon kebangkitan kawula muda yang akan mengangkat Indonesia ke masa kemasyhurannya.
Tapi mari kita uji secara sederhana.
Sukarno terkenal, namun seberapa terkenal ayahnya? Natsir punya prestasi cemerlang, siapa gerangan ayahnya? Hatta punya reputasi mentereng, adakah yang tahu nama ayahnya? Pun Tan Malaka, siapa pula ayahnya?
Bisa dipastikan hanya segelintir orang saja yang bisa menyebut nama orangtua tokoh-tokoh legendaris di atas.
Alhasil, dapatlah disimpulkan, kedahsyatan Natsir, Sukarno, Tan Malaka, dan Hatta sama sekali tidak mendompleng nama orangtua mereka.
Jadi, narasi ihwal kepemimpinan Indonesia masa kini dan masa depan selayaknya tidak berhenti pada dimensi usia belaka.
Hanya kaum muda yang kehebatannya dihasilkan oleh akal budi mereka sendiri, tanpa embel-embel 'bin ayah', yang boleh dikagumi serta digelarkan karpet merah ke Jalan Medan Merdeka.
Sebaliknya, orang muda yang nirgagasan lagi tuna kinerja, namun terdongkrak lebih (apalagi semata-mata) berkat nama orangtuanya, sewajarnya masuk kotak saja.
Allahu a'lam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.