Perkara ini diajukan oleh 15 pemohon berbentuk serikat/konfederasi serikat buruh, dengan eks Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana dkk sebagai advokat.
Baca juga: UU Cipta Kerja Jadi Upaya Pemerintah Menyongsong Indonesia Emas 2045
Dalam pertimbangannya, majelis hakim menganggap dalil para pemohon tidak beralasan menurut hukum.
Pemohon, di antaranya menilai bahwa penerbitan perppu itu tidak memenuhi unsur kegentingan yang memaksa. Akan tetapi, MK mengamini argumen pemerintah yang disampaikan dalam persidangan, bahwa Perppu Ciptaker itu genting untuk disahkan.
Kegentingan itu berupa "krisis global yang berpotensi berdampak signifikan terhadap perekonomian Indonesia akibat situasi geopolitik yang tidak menentu dikarenakan (salah satunya faktor pemicu) adanya Perang Rusia-Ukraina serta ditambah situasi (pasca) krisis ekonomi yang terjadi karena adanya pandemi Covid-19".
Baca juga: DPR Sebut Selesaikan 11 UU pada Masa Sidang IV, Ada Perppu Ciptaker dan Perppu Pemilu
Perdebatan soal kegentingan yang memaksa itu, menurut Mahkamah, sudah selesai ketika DPR menyetujui penetapan Perppu Ciptaker menjadi undang-undang.
Kemudian, pemohon mendalilkan bahwa penetapan Perppu Ciptaker menjadi UU oleh DPR melanggar konstitusi karena dilakukan pada masa sidang keempat, padahal perppu itu diteken Presiden Joko Widodo pada masa sidang kedua.
Mahkamah menganggap wajar jika DPR butuh waktu lama untuk menetapkan perppu itu menjadi undang-undang, sebab Perppu Ciptaker bersifat omnibus yang mencakup 78 undang-undang lintas sektor.
Mahkamah juga menilai bahwa parlemen tidak buang-buang waktu untuk me-review perppu itu sejak menerima surat presiden.
Baca juga: MK Anggap Perppu Ciptaker Jokowi Penuhi Syarat Kegentingan yang Memaksa
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.