Mengakui dilema ini adalah langkah pertama menuju reformasi. Koalisi bukanlah sesuatu yang buruk; koalisi merupakan kebutuhan demokrasi, terutama di negara yang beragam dan kompleks seperti Indonesia.
Namun, koalisi harus bertransformasi dari penghalang menjadi saluran untuk perubahan yang sejati.
Transformasi ini membutuhkan masyarakat sipil yang aktif, media yang waspada, dan yang paling penting, kelas politik yang bersedia untuk menempatkan kepentingan nasional di atas kepentingan politik.
Seiring dengan berjalannya waktu menuju pemilu 2024, pemilih memainkan peran penting. Para pemilih harus menyadari keterbatasan yang diberlakukan oleh koalisi dan menuntut transparansi dan akuntabilitas.
Pengawasan publik yang semakin ketat dapat memaksa koalisi untuk berevolusi menjadi platform yang mempertemukan gagasan dan kepentingan nasional, bukannya berbeda.
Dalam membedah jaringan labirin politik Indonesia, kita harus mengenali peran uang besar dan patronase. Lanskap politik bukan hanya medan perang ide dan ideologi, tetapi juga arena di mana kepentingan finansial dijaga dengan ketat.
Seringkali, koalisi tidak dibentuk semata-mata berdasarkan kecocokan ideologi, tetapi juga bagaimana mereka dapat melindungi dan memajukan kepentingan bisnis para penyokongnya.
Dimensi ini menambah lapisan kompleksitas lain pada kalkulus koalisi, sehingga sulit untuk mengurai posisi kebijakan yang murni dari mereka yang dipengaruhi oleh kepentingan pribadi.
Selain itu, ada pengaruh yang lebih halus lagi yang sedang bekerja: pengaruh budaya politik dan sosial.
Budaya politik Indonesia berakar kuat pada tradisi yang menekankan konsensus dan harmoni, yang sering kali mengarah pada penghindaran politik yang penuh perdebatan.
Meskipun sifat-sifat ini dapat menjadi aset dalam menciptakan tatanan sosial yang harmonis, mereka juga dapat menghambat wacana kritis.
Akibatnya, calon presiden potensial mungkin menahan diri untuk tidak menantang kebijaksanaan yang berlaku dalam koalisi mereka atau menentang tokoh-tokoh yang berkuasa, yang mengarah pada suasana konformitas daripada kontestasi.
Hal ini membawa kita pada lanskap media, yang memainkan peran ganda dalam membentuk opini publik dan berfungsi sebagai pengawas.
Namun, media menyadari adanya hubungan yang kompleks antara koalisi dan patronase. Ada beberapa kasus di mana media, alih-alih bertindak sebagai pengamat yang objektif, justru menjadi corong kepentingan politik tertentu.
Hal ini dapat mengaburkan isu-isu yang sebenarnya, menyesatkan para pemilih, dan mengurangi debat publik menjadi pertunjukan teater belaka, sehingga merusak proses demokrasi.