KATA “hilirisasi” hari-hari ini seperti penghias narasi yang aktif di berbagai analisis kajian dan kebijakan. Awalnya narasi hilirisasi muncul ketika pemerintah gencar mengampanyekan kebijakan hilirisasi.
Lantas, apa itu hilirisasi?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hilirisasi adalah proses pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai.
Kata lain yang muncul adalah penghiliran, yang memiliki makna sebagai proses, cara, perbuatan untuk melakukan pengolahan bahan baku menjadi barang siap pakai.
Apabila pilihan hilir dibanding hulu adalah kebutuhan bangsa dan sesuai amanat konstitusi, maka pelibatan atas partisipasi rakyat yang lebih luas adalah kunci memenangkannya.
Hal ini dikarenakan persoalan pokok yang berkaitan dengan konstitusi adalah sejauh mana pengelolaan sumber daya alam membawa kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia.
Ketika sumber daya alam sudah sampai pada kebijakan hilirisasi yang mapan, namun kapan giliran sumber daya manusianya, khususnya ideologi Pancasila memberi tawaran terhadap proses hilirisasinya?
Pertanyaan yang kiranya terlalu mengada-ada, apa bisa ideologi mengalami hilirisasi.
Pertanyaan tersebut sebenarnya lebih mendekatkan ke arah bentuk perwujudan optimalisasi pengarusutamaan ideologi Pancasila.
Saat ini, kritik tajam diarahkan pada bagaimana cara yang tepat untuk hilirisasi ideologi Pancasila agar mampu mendorong warga negara turut serta dalam usaha penguatan pemahaman dan pengetahuan mengenai Dasar Negara.
Pancasila sebagai ideologi negara perlu “dihilirkan” agar dapat diaplikasikan secara konkret dalam kehidupan masyarakat.
Hilirisasi ideologi Pancasila yang dimaksud bertujuan menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup yang terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari, bukan hanya sebagai pemahaman yang terbatas, apalagi minim atas usaha mencerdaskan bangsa.
Ketimpangan-ketimpangan dalam pembangunan, terutama dalam ideologi, perlu pendekatan yang mampu menempatkan perubahan pembangunan dengan konsep pemberdayaan yang inklusif.
Namun, Pancasila telah berhasil menjadi instrumen yang efektif dalam mengatasi ketimpangan ideologi di negara ini.
Frideman (1992) pernah menerangkan bahwa perubahan-perubahan dalam pembangunan kadang menghendaki perlunya penyelidikan intergeneration equality atau sering disebut keadilan antargenerasi.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.