Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hamid Awaludin

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

"Watergate" Versi Indonesia?

Kompas.com - 19/09/2023, 15:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

LEBIH setengah abad silam (1972), politik Amerika Serikat gaduh tak kepalang. Dunia pun geger dibuatnya.

Bermula dari penangkapan lima orang pria yang menyusup dan mengendap, membobol kantor Komite National Partai Demokrat di Gedung Watergate, kota Washington DC.

Penangkapan ini membangkitkan adrenalin keingintahuan dua orang wartawan Washington Post, Bob Woodword dan Carl Bernstein, melakukan investigasi lebih dalam. Hasilnya, telah terjadi mega skandal politik terbesar selama sejarah Amerika Serikat.

Melalui seorang informan yang disamarkan dengan nama Deep Throat, Woodward dan Bernstein sukses gemilang membongkar kejahatan Presiden Nixon (Republikan), yang menyadap segala percakapan saingannya, Partai Demokrat, yang ketika itu, mencalonkan George McGovern sebagai Presiden AS.

Barulah pada 2005, identitas sesungguhnya Deep Throat itu ketahuan, ternyata adalah Mark Felt, Wakil Direktur Federal Bureau Investigation (FBI).

Tatkala mengadili pembobol Gedung Watergate tersebut, hakim John Siricon memiliki keyakinan kuat bahwa ini bukan sekadar pencurian biasa, tetapi persekongkolan politik luar biasa. Senat Amerika Serikat pun membentuk komite investigasi.

Lantaran tekanan yang begitu dahsyat, Presiden Richard Nixon akhirnya mengakui bahwa ia mengetahui penyadapan-penyadapan tersebut. Sesuatu yang sebelumnya selalu ia sangkal.

Mahkamah Agung Amerika Serikat mendesak Nixon menyerahkan semua kaset penyadapan percakapan tersebut.

Nixon juga mengakui bahwa pihaknya menggunakan segala cara untuk membungkam FBI agar tidak meneruskan penyelidikannya.

Komite Kongres Amerika Serikat akhirnya mengeluarkan surat pemakzulan (impeachment) kepada Nixon. Sebelum pemakzulan itu terlaksana, Nixon menyatakan pengunduran dirinya pada 8 Agustus 1974.

Mengapa saya tiba-tiba menulis dan mengungkit kasus Watergate ini?

Semuanya digelitik oleh pernyataan terbuka Yang Mulia Presiden RI, Joko Widodo, tentang pengetahuannya mengenai keadaan isi perut para partai politik di negeri ini.

Perkenankan saya mengutip ucapan Presiden Joko Widodo: “Saya tahu dalamnya partai seperti apa, saya tahu. Partai-partai seperti apa saya tahu. Ingin menuju ke mana juga saya tahu, saya ngerti. Tentu saja, sumber informasi presiden adalah Badan Intelejen Negara (BIN) ataukah BAIS."

Salahkah Presiden?

Seorang presiden meminta informasi dari lembaga negara, itu sangat sah. Tidak ada yang bisa menyoalnya.

Yang bermasalah adalah, di tengah persaingan para kandidat presiden menuju kursi nomor satu itu, Presiden Joko Widodo tiba-tiba mengeluarkan pernyataan tersebut.

Tafsir politik pun tumbuh berkecambah dan liar luar biasa. Apalagi, di antara para kandidat itu, ada yang menjadi favorit Presiden Jokowi. Ada juga kandidat yang paling ia tidak kehendaki.

Orang pun mulai menebak-nebak, jangan-jangan pernyataan terbuka Presiden Jokowi ini adalah ancaman dan intimidasi agar para partai politik tidak macam-macam, ikuti saja kemauan Presiden Jokowi.

Tafsir politik tersebut, memiliki alas sah, mengingat selama ini utak atik sebagian partai politik untuk mencalonkan atau tidaknya seseorang menjadi kandidat presiden dan wakil presiden, katanya, melibatkan Presiden Jokowi.

Tafsir politik yang liar di atas, diperkokoh dengan kenyataan bahwa putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming, disebut-sebut menjadi bakal calon wakil presiden Prabowo Subianto. Ini semua tergantung dari putusan Mahkamah Konstitusi kelak.

Yang lain mungkin ada yang menafsirkan, pernyataan Presiden Jokowi tersebut adalah isyarat jelas bahwa Presiden ingin memberi signal kuat bahwa dirinya adalah the true political king maker di negeri ini. Bukan yang lain-lain.

Tafsir ini juga logis, mengingat, Presiden Jokowi menjabat dua kali masa jabatan. Wajar sekali bila dirinya ingin dipersepsikan dan diakui sebagai pengatur segala hal ikhwal poilitik.

Tafsiran lain, pernyataan Presiden di atas, adalah pesan jelas dan terang bahwa, “Wahai partai politik, jangan macam-macam. Saya tahu apa yang kalian lakukan, misalnya saja, money politics dan permainan transaksional yang sudah mulai merebak di internal kalian semua.”

Bila saya ditanya, apakah pernyataan Presiden Joko Widodo tersebut berkaitan dengan kecurigaan bahwa partai politik di negeri kita ini, ada yang membahayakan dari segi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara karena orientasi ideologi mereka? Saya tidak percaya asumsi ini karena sebagian partai politik kita cenderung tidak ideologis, tetapi transaksional belaka.

Lagi pula, praktik pragmatisme politik di negeri kita sekarang ini, menunjukkan gelagat pengentalan.

Tentu saja ada yang mengatakan, apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo itu, adalah refleksi dari tekadnya agar segala yang dirintisnya selama ini, dilanjutkan saja. Jangan mengubah haluan apa pun.

Dan ini banyak ditentukan oleh partai politik, para pendukung masing-masing calon presiden, pengganti dirinya. Alasan ini juga sah dan tidak perlu disoal.

Apa pun pendekatan serta asumsi yang dipakai untuk melakukan tafsir politik atas ucapan Presiden Jokowi tersebut, bagi saya, ini soal serius.

Lembaga seperti BIN dan BAIS adalah lembaga negara yang bergerak di bidang intelijen. Misi mereka adalah mengumpulkan dan memilah informasi untuk dijadikan dasar mengambil keputusan untuk keselamatan bangsa dan negara. Bukan informasi untuk mematikan lawan politik dan menguatkan kongsi politik.

Yang membuat isu ini kian sensitif adalah, status para partai politik sebagai pilar utama demokrasi. Bila partai politik dengan enteng disadap dan disusupi, maka di situlah awal dari malapetaka demokrasi.

Manakala partai politik yang tidak sehaluan dengan kekuasaan, dengan mudah dijadikan main-mainan, di situlah syahwat kekuasaan pelik dikendalikan.

Syahwat kekuasaan yang tak terkendali, adalah pintu rontoknya kekuasaan itu sendiri.

Tatkala saya tiba pada bagian penutup esai ini, saya teringat ucapan Abraham Lincoln: “Nearly all men can stand adversely, but if you want to test a man’s character, give him power” (Hampir semua orang bisa bertahan dalam kesulitan. Bila Anda ingin menguji karakter seseorang, maka berilah ia kekuasaan).

Abraham Lincoln selanjutnya mengatakan, “No man has a good memory to be successful liar” (Tak seorang pun yang memiliki ingatan yang baik untuk menjadi pembohong yang baik).

Nampak-nampaknya mendiang Presiden Nixon melupakan pesan pendahulunya itu, Presiden Abraham Lincoln.

Saya pikir, bukan hanya Presiden Nixon yang pelupa, tetapi banyak presiden lain juga amnesia dari pesan Lincoln tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pesimis KRIS BPJS Terlaksana karena Desain Anggaran Belum Jelas, Anggota DPR: Ini PR Besar Pemerintah

Pesimis KRIS BPJS Terlaksana karena Desain Anggaran Belum Jelas, Anggota DPR: Ini PR Besar Pemerintah

Nasional
Soal RUU Kementerian Negara, Mahfud: Momentumnya Pancing Kecurigaan Hanya untuk Bagi-bagi Kue Politik

Soal RUU Kementerian Negara, Mahfud: Momentumnya Pancing Kecurigaan Hanya untuk Bagi-bagi Kue Politik

Nasional
Dampak Korupsi Tol MBZ Terungkap dalam Sidang, Kekuatan Jalan Layang Berkurang hingga 6 Persen

Dampak Korupsi Tol MBZ Terungkap dalam Sidang, Kekuatan Jalan Layang Berkurang hingga 6 Persen

Nasional
Mahfud MD Ungkap Kecemasannya soal Masa Depan Hukum di Indonesia

Mahfud MD Ungkap Kecemasannya soal Masa Depan Hukum di Indonesia

Nasional
Jalan Berliku Anies Maju pada Pilkada Jakarta, Sejumlah Parpol Kini Prioritaskan Kader

Jalan Berliku Anies Maju pada Pilkada Jakarta, Sejumlah Parpol Kini Prioritaskan Kader

Nasional
Kunker di Mamuju, Wapres Olahraga dan Tanam Pohon Sukun di Pangkalan TNI AL

Kunker di Mamuju, Wapres Olahraga dan Tanam Pohon Sukun di Pangkalan TNI AL

Nasional
Sebut Demokrasi dan Hukum Mundur 6 Bulan Terakhir, Mahfud MD: Bukan karena Saya Kalah

Sebut Demokrasi dan Hukum Mundur 6 Bulan Terakhir, Mahfud MD: Bukan karena Saya Kalah

Nasional
Bobby Resmi Masuk Gerindra, Jokowi Segera Merapat ke Golkar?

Bobby Resmi Masuk Gerindra, Jokowi Segera Merapat ke Golkar?

Nasional
[POPULER NASIONAL] Korps Marinir Tak Jujur demi Jaga Marwah Keluarga Lettu Eko | Nadiem Sebut Kenaikan UKT untuk Mahasiswa Baru

[POPULER NASIONAL] Korps Marinir Tak Jujur demi Jaga Marwah Keluarga Lettu Eko | Nadiem Sebut Kenaikan UKT untuk Mahasiswa Baru

Nasional
Poin-poin Klarifikasi Mendikbud Nadiem di DPR soal Kenaikan UKT

Poin-poin Klarifikasi Mendikbud Nadiem di DPR soal Kenaikan UKT

Nasional
Kasus Covid-19 di Singapura Melonjak, Menkes: Pasti Akan Masuk ke Indonesia

Kasus Covid-19 di Singapura Melonjak, Menkes: Pasti Akan Masuk ke Indonesia

Nasional
Sidang Perdana Kasus Ketua KPU Diduga Rayu PPLN Digelar Tertutup Hari Ini

Sidang Perdana Kasus Ketua KPU Diduga Rayu PPLN Digelar Tertutup Hari Ini

Nasional
Saat PKB dan PKS Hanya Jadikan Anies 'Ban Serep' pada Pilkada Jakarta...

Saat PKB dan PKS Hanya Jadikan Anies "Ban Serep" pada Pilkada Jakarta...

Nasional
Tanggal 25 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 25 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Dukung Pengelolaan Sumber Daya Alam, PHE Aktif dalam World Water Forum 2024

Dukung Pengelolaan Sumber Daya Alam, PHE Aktif dalam World Water Forum 2024

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com