Yang bermasalah adalah, di tengah persaingan para kandidat presiden menuju kursi nomor satu itu, Presiden Joko Widodo tiba-tiba mengeluarkan pernyataan tersebut.
Tafsir politik pun tumbuh berkecambah dan liar luar biasa. Apalagi, di antara para kandidat itu, ada yang menjadi favorit Presiden Jokowi. Ada juga kandidat yang paling ia tidak kehendaki.
Orang pun mulai menebak-nebak, jangan-jangan pernyataan terbuka Presiden Jokowi ini adalah ancaman dan intimidasi agar para partai politik tidak macam-macam, ikuti saja kemauan Presiden Jokowi.
Tafsir politik tersebut, memiliki alas sah, mengingat selama ini utak atik sebagian partai politik untuk mencalonkan atau tidaknya seseorang menjadi kandidat presiden dan wakil presiden, katanya, melibatkan Presiden Jokowi.
Tafsir politik yang liar di atas, diperkokoh dengan kenyataan bahwa putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming, disebut-sebut menjadi bakal calon wakil presiden Prabowo Subianto. Ini semua tergantung dari putusan Mahkamah Konstitusi kelak.
Yang lain mungkin ada yang menafsirkan, pernyataan Presiden Jokowi tersebut adalah isyarat jelas bahwa Presiden ingin memberi signal kuat bahwa dirinya adalah the true political king maker di negeri ini. Bukan yang lain-lain.
Tafsir ini juga logis, mengingat, Presiden Jokowi menjabat dua kali masa jabatan. Wajar sekali bila dirinya ingin dipersepsikan dan diakui sebagai pengatur segala hal ikhwal poilitik.
Tafsiran lain, pernyataan Presiden di atas, adalah pesan jelas dan terang bahwa, “Wahai partai politik, jangan macam-macam. Saya tahu apa yang kalian lakukan, misalnya saja, money politics dan permainan transaksional yang sudah mulai merebak di internal kalian semua.”
Bila saya ditanya, apakah pernyataan Presiden Joko Widodo tersebut berkaitan dengan kecurigaan bahwa partai politik di negeri kita ini, ada yang membahayakan dari segi persatuan dan kesatuan bangsa dan negara karena orientasi ideologi mereka? Saya tidak percaya asumsi ini karena sebagian partai politik kita cenderung tidak ideologis, tetapi transaksional belaka.
Lagi pula, praktik pragmatisme politik di negeri kita sekarang ini, menunjukkan gelagat pengentalan.
Tentu saja ada yang mengatakan, apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo itu, adalah refleksi dari tekadnya agar segala yang dirintisnya selama ini, dilanjutkan saja. Jangan mengubah haluan apa pun.
Dan ini banyak ditentukan oleh partai politik, para pendukung masing-masing calon presiden, pengganti dirinya. Alasan ini juga sah dan tidak perlu disoal.
Apa pun pendekatan serta asumsi yang dipakai untuk melakukan tafsir politik atas ucapan Presiden Jokowi tersebut, bagi saya, ini soal serius.
Lembaga seperti BIN dan BAIS adalah lembaga negara yang bergerak di bidang intelijen. Misi mereka adalah mengumpulkan dan memilah informasi untuk dijadikan dasar mengambil keputusan untuk keselamatan bangsa dan negara. Bukan informasi untuk mematikan lawan politik dan menguatkan kongsi politik.
Yang membuat isu ini kian sensitif adalah, status para partai politik sebagai pilar utama demokrasi. Bila partai politik dengan enteng disadap dan disusupi, maka di situlah awal dari malapetaka demokrasi.