JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Eddy OS Hiariej mengatakan, sejumlah pasal-pasal karet dalam UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dicabut jika KUHP baru berlaku pada Januari 2026.
Adapun sejumlah pasal tersebut adalah pasal 27 dan pasal 28. Pasal 27 ayat (1) UU ITE mengatur tentang keasusilaan, sementara Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik.
Sedangkan Pasal 28 ayat (1) mengatur tentang berita bohong merugikan konsumen, dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.
"Jadi berdasarkan KUHP dalam peraturan peralihan itu, KUHP berlaku pada 2 Januari 2026, maka pasal 27 dan pasal 28 UU ITE tidak lagi berlaku karena dicabut," kata Eddy dalam diskusi media di Jakarta Pusat, Senin (11/9/2023).
Baca juga: Korban Kekerasan Seksual Rentan Dikriminalisasi, LBH Apik Minta Pasal Karet UU ITE Dihapus
Eddy menyampaikan, meski KUHP baru belum berlaku secara penuh saat ini, pemerintah menjamin tidak ada kekosongan hukum.
Sebab, beberapa aturan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, termasuk KUHP lama, UU TPKS, dan UU Pornografi.
"Sebenarnya tidak ada kekosongan hukum karena kekhawatiran-kekhawatiran itu: Satu, dia ada pada KUHP yang lama. Kedua, ada UU TPKS, ada juga UU Pornografi. Itu sebetulnya sudah kita masukkan dalam draft terbaru, tapi belum dibahas dengan Komisi I," ucap dia.
Alih-alih kekosongan hukum, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jakarta, Uli Pangaribuan justru menilai pasal-pasal karet dalam UU ITE perlu dihapus dalam revisi kedua yang dilakukan DPR RI dan pemerintah.
Baca juga: Anies Minta UU ITE yang Bermasalah Direvisi buat Lindungi Masyarakat
Sebab dalam menjalankan praktik perlindungan untuk korban kekerasan seksual yang dia lakukan, korban justru rentan dikriminalisasi atas hadirnya pasal-pasal karet tersebut.
Salah satu pasal, yaitu pasal 27 ayat (1) misalnya, seringkali digunakan oleh pelaku mengkriminalisasi korban, keluarga korban, atau pendamping korban kekerasan seksual yang berjuang mendapatkan keadilan.
Dengan begitu, ia menilai, mempertahankan Pasal 27 ayat (1) tentang kesusilaan akan menghambat korban kekerasan seksual untuk mencari keadilan.
"UU ITE 27 ayat (1) sangat jahat, jahatnya ke korban. Jangan sampai korban melaporkan, kemudian korban juga yang dilaporkan terkait dengan kasus yang dialaminya. Ini yang kami temui di beberapa kasus yang kami temui di LBH Jakarta," tutur Uli.
Sepakat dengan Wamenkumham, pasal karet ini menurutnya perlu dihapus karena Indonesia telah memiliki UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. UU tersebut telah mengatur sembilan jenis tindak pidana kekerasan seksual.
Baca juga: BSSN Minta Diberi Wewenang Penindakan di Dalam Revisi UU ITE
Merujuk Pasal 4 Ayat (1) UU TPKS, 9 jenis tindak pidana kekerasan seksual, meliputi pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik.
Dengan dihapusnya pasal 27 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE, maka aparat penegak hukum (APH) akan fokus dan menggunakan UU TPKS sebagai acuan untuk menangani tindak pidana kekerasan seksual.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.