Dalam kasus revisi UU KPK, yang melemahkan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia, tidak satu pun partai menolak. Demokrat dan PKS hanya memberi catatan, tetapi tak menolak.
Tanpa oposisi yang kuat dan kritis, bukan hanya melemahkan check and balance, tapi juga membuat tak ada narasi tandingan terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Sebagian besar kebijakan pemerintah yang kontroversial, seperti revisi UU KPK dan UU Cipta Kerja, ditolak di jalanan, bukan di parlemen.
Keempat, keberpihakan (partisanship) dan fanatisme politik. Polarisasi politik yang mengental dalam dua pemilu terakhir (2014 dan 2019) menyuburkan fanatisme politik.
Fanatisme melahirkan penilaian yang subjektif. Di kalangan pendukung pemerintah yang fanatik, pemerintah bisa bercokol seperti berhala yang disembah-sembah.
Sebaliknya, di kalangan oposisi fanatik, pemerintah bisa bercokol seperti setan tanpa kebaikan setetes pun. Keduanya senang bertungkus lumus dalam ruang gema (echo chamber).
Meskipun Prabowo kemudian bergabung ke pemerintahan, tetapi residu polarisasi dan fanatisme politik itu masih ada.
Yang terjadi, sebagian besar pendukung Prabowo, yang dulu getol mengkritik dan menyerang Jokowi, sekarang turut menjadi bagian dari populasi yang mengapresiasi kinerja pemerintah.
Ini terekam dalam survei Litbang Kompas pada Januari 2023, sebanyak 68,3 persen pendukung Prabowo mengapresiasi positif kinerja pemerintah. Hal yang sama terjadi pada pendukung Sandiaga Uno.
Sebaliknya, porsi terbesar pendukung Anies dan AHY berada dalam kelompok populasi yang menyatakan tidak puas dengan kinerja pemerintah.
Tampak masuk akal, manakala elektabilitas Anies Baswedan yang hanya dalam rentang 20-25 persen, estimasi tingkat kepuasan terhadap Jokowi dalam rentang 70-80 persen.
Bagi seorang petahana, approval rating bukan sekadar evaluasi publik atas kinerjanya, tetapi sekaligus modal politik yang sangat besar untuk terpilih kembali.
Sementara, bagi Presiden yang akan berakhir jabatannya karena pembatasan masa jabatan, approval rating bisa menjadi legacy sekaligus modal politik di ujung kekuasaannya untuk menjadi “king maker” yang menentukan hasil Pemilu selanjutnya.
Namun, capres penerus yang berharap berkah dari “approval rating” pemerintahan Jokowi perlu berhati-hati: approval rating itu ditopang oleh tiang yang rapuh, sehingga gampang dirobohkan oleh politik gagasan yang berani masuk ke dalam isu ketimpangan ekonomi, korupsi, perubahan iklim, dan politik dinasti.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.