Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rudi Hartono
Penulis Lepas dan Peneliti

Penulis lepas dan pendiri Paramitha Institute

Di Balik Kepuasan Publik terhadap Presiden Jokowi

Kompas.com - 11/09/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pengaruh inflasi terhadap tingkat kepuasan publik tidak sulit dijelaskan. Persepsi publik dalam menilai pemerintahan cenderung berdasarkan pengalaman mereka sehari-hari. Dalam hal ini, inflasi bersentuhan langsung dengan kehidupan rakyat banyak: soal daya beli dan harga kebutuhan hidup.

Namun demikian, sekalipun inflasi dan pemulihan ekonomi berkontribusi terhadap persepsi publik dalam menilai kinerja pemerintah, namun daya ungkitnya seharusnya tak setinggi angka-angka yang ada. Saya kira, ada faktor-faktor lain yang tak tersebutkan di sini.

Faktor-faktor yang tak tersebutkan

Pertama, peran media yang cenderung membingkai persepsi positif terkait kinerja pemerintah. Edwards, Mitchell, dan Welch (1995) menunjukkan, semakin besar penekanan suatu isu yang berpengaruh positif ke pemerintah oleh media, maka semakin besar pula dampaknya pada tingkat kepuasan terhadap pemerintah tersebut.

Media berperan dalam membingkai isu yang disuguhkan pada publik, mana yang perlu dibesar-besarkan dan isu mana yang harus dikesampingkan, kemudian bagaimana isu tersebut dinarasikan dengan positif atau negatif.

Kita lihat isu UU Cipta Kerja, yang proses pembuatan dan substansinya banyak digugat oleh serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil.

Riset Remotivi, salah satu lembaga pemantau media, mencatat, yang dipublikasikan pada 20 Maret 2020, menunjukkan bahwa media lebih banyak menjadi “humas pemerintah” dalam pemberitaan omnibus law UU Cipta Kerja.

Dari analisis terhadap pemberitaan 5 media arus-utama, riset remotivi menyimpulkan: 52 persen memiliki nada positif, 32 persen netral, dan 16 persen negatif.

Dalam pemilihan narasumber, ruang bagi pemerintah mendapat ruang berbicara terbanyak dengan persentase 47 persen, menyusul buruh dengan 14,3 persen, dan yudikatif (aparat kepolisian, hakim, jaksa, dll.) dengan 12 persen.

Kedua, pengetahuan politik warga negara juga berpengaruh pada penilaian terhadap kinerja pemerintah. Tanpa pengetahuan politik yang memadai, sulit bagi warga negara untuk memberikan penilaian kritis terhadap kinerja pemerintah.

Di negara maju, fasilitas publik yang buruk, seperti jalanan rusak mungkin sesuatu yang tak bisa diterima oleh warganya. Di Indonesia, berdasarkan data Statistik Transportasi Darat 2021, jalan yang kondisinya baik hanya 42,6 persen, sementara rusak sebanyak 31,91 persen.

Tak sedikit dari jalan itu rusak sudah bertahun-tahun, dari pemilu ke pemilu dan Pilkada ke Pilkada. Seharusnya, isu jalan rusak menjadi menu gugatan politik. Namun, jika jalan rusak bisa sampai puluhan tahun, bisa dipastikan isu jalan raya tak masuk dalam menu gugatan politik di pilkades, pilkada, maupun pemilu.

Betapa tumpulnya kesadaran dan standar politik kita, bekas narapidana koruptor bebas mencalonkan diri sebagai pejabat publik. Tak sedikit yang benar-benar terpilih.

Pada pemilu 2024 nanti, menurut KPU, ada 67 eks narapidana atas berbagai jenis kasus, termasuk perkara korupsi, yang akan ikut kontestasi menjadi wakil rakyat.

Ketiga, absennya oposisi dan lemahnya check and balance. Pascapemilu 2019, Jokowi merangkul semua lawan politiknya, termasuk Prabowo Subianto. Situasi itu diikuti dengan keberhasilan Jokowi merangkul banyak partai politik.

Di parlemen, koalisi pemerintah menguasai 471 kursi parlemen atau 81,9 persen kursi DPR. Hanya ada dua partai oposisi di parlemen, yaitu Demokrat dan PKS.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com