INDONESIA adalah negara kesepakatan, artinya para founding fathers bangsa telah menyepakati untuk ada dalam satu konsensus, guna mencapai tujuan bersama: keadilan sosial bagi semua.
Lantas apakah sudah berjalan seperti yang diharapkan? Ini yang memang penting untuk terus didiskusikan apalagi pada seperempat abad terakhir menuju satu abad usia negara ini.
Tentu saja ada berbagai pandangan atau pendapat yang bisa dikemukakan, antara lain menjadi semacam warning atau peringatan dini, agar perjalanan bangsa ini tidak melenceng jauh dari cita-cita didirikan, apalagi hingga keluar rel dan anjlok.
Seperti halnya bila mengutip makalah berjudul Reflections on Oligarchy, Democracy, and The Rule of Law in Indonesia, Jeffrey A. Winters, Ph.D., menjelaskan dengan gamblang Indeks Kekuatan Material (Material Power Index) MPI di Indonesia.
Indeks untuk mengukur seberapa besar kekuatan material oligarki dibandingkan dengan orang biasa.
Yaitu dengan menghitung atau membagi kekayaan rata-rata dari 40 orang terkaya Indonesia berdasarkan posisi kekayaan warga negara rata-rata.
Hasilnya menunjukkan bahwa kesenjangan kekayaan-kekuatan yang sudah besar pada tahun 2010, kini bertumbuh pesat selama dekade terakhir.
Rata-rata oligarki teratas di Indonesia memiliki sekitar 570.988 kali lipat kekuatan kekayaan warga negara rata-rata pada 2010. Ini meningkat menjadi 759.420 kali pada tahun 2020, peningkatan 33 persen.
Artinya, konsentrasi kekayaan di kalangan oligarki meningkat lebih cepat daripada pertumbuhan secara keseluruhan dalam perekonomian.
Jauh sebelum MPI di-rilis pun berdasarkan survei lembaga keuangan Credit Suisse 2017, telah memperlihatkan bahwa satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.
Kondisi ini membuat Indonesia berada di peringkat 4 negara dengan ketimpangan tertinggi di dunia.
Ironisnya lagi, satu persen orang terkaya itu hampir semua tinggal di Jakarta, setidaknya di Pulau Jawa.
Dengan kekayaan yang mereka miliki, tentu saja tidak hanya ekonomi nasional yang dikontrol, kekuasan politik juga diatur, tak ubahnya sedang memainkan bidak catur.
Rupanya bukan saja pada jabatan struktural (birokrasi/TNI-Polri), pada jabatan politik juga dengan mudah dikendalikan. Itu karena sejumlah politisi, calon kepala daerah hingga calon legislatif juga ‘sowan’ untuk dapat restu dan menerima biaya politik serta ‘arahan’ kelompok kalangan pebisnis itu.
Konsekuensinya jelas, semua akan dengan mudah diatur. Bisa dibayangkan berbagai produk politik yang dihasilkan para politisi yang diberi ‘restu’ akan dengan mudah masuk angin, setidaknya tidak akan mengancam atau mengganggu aktivitas dan kepentingan para penguasa ekonomi itu. Terbentuklah oligarki.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.