Patrimonialisme inilah yang selalu menghambat tata kelola birokrasi dan politik kita menjadi rasional dan modern.
Sebaliknya, tata kelola birokrasi kita selalu menghadirkan hubungan antara atasan-bawah yang sifatnya personal-hirarkis, tidak membedakan milik publik dan pribadi, loyalitas buta pada hirarki, dan perekrutan berbasiskan hubungan keluarga dan perkoncoan.
Kedua, korupsi juga berkelindan dengan struktur ekonomi kita yang bertumpu pada model ekstraktivisme. Esensi ekstraktivisme adalah model ekonomi yang berbasiskan pada eksploitasi sumber daya alam dan ekspor bahan mentah ke pasar dunia (Eduardo Gudynas, 2015).
Karena hanya berjualan bahan mentah, tak ada nilai tambah, model ekonomi ekstraktivisme membutuhkan intervensi politik untuk meminimalkan biaya operasional dan memaksimalkan keuntungan, mulai dari perizinan, pembebasan lahan, pengamanan saat beroperasi, insentif, keringanan pajak, kemudahan ekspor, dan lain-lain. Itu yang menyebabkan sektor ini sangat dekat dengan ekonomi rente dan kapitalisme kroni.
Ketiga, menguatnya fenomena oligarki akibat konsentrasi kekayaan di tangan segelintir orang di satu sisi dan menguatnya politik uang di sisi lain.
Akibatnya, politik semakin terdominasi oleh orang super-kaya. Mereka kemudian menggunakan politik sekadar untuk mengamankan dan menumpuk kekayaan.
Mereka mendominasi DPR dan pemerintahan. Yang terjadi, mereka membajak kebijakan politik kepentingan pribadi.
Yang terjadi bukan lagi korupsi berskala kecil dan terisolir pada individu, melainkan fenomena “state capture corruption”, yakni bentuk korupsi sistemis di mana kebijakan publik cenderung diarahkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dari sebagian kecil anggota masyarakat.
Indikasi ini sangat kuat terbaca dalam kasus revisi UU KPK, revisi UU Minerba, dan pengesahan UU Cipta Kerja.
Korupsi harus diperangi habis-habisan. Selain karena berdampak negatif, seperti menjauhkan sumber daya dari kepentingan publik, memperparah ketimpangan, menggerogoti anggaran negara (APBN/APBD), ekonomi biaya tinggi, dan merusak institusi politik, korupsi juga merupakan warisan kolonialisme. Tanpa melikuidasi korupsi, tak ada kemerdekaan 100 persen.
Pertama, kita harus tetap memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Memperkuat KPK berarti memastikan KPK sebagai lembaga yang independen dan terbebas dari kekuasaan mana pun.
Mengingat bahwa korupsi sudah meluas hingga struktur politik terbawah, perlu mempertimbangkan untuk memperluas KPK hingga tingkat kabupaten/kota.
Kedua, perlu mengikis penyakit patrimonialisme dalam politik dengan mendorong demokratisasi di tubuh partai, pembatasan masa jabatan ketua umum partai, dan transparasi keuangan partai.
Ketiga, mendukung agenda hilirasi ekonomi untuk membongkar model ekonomi ekstraktif. Hilirisasi akan menggeser budaya ekonomi dari “petik-jual, tebang-jual, keruk-jual” menjadi ekonomi produktif berbasis teknologi dan SDM. Ekonomi yang memberi keuntungan dari penciptaan nilai tambah, bukan karena rente.
Keempat, berhadap-hadapan dengan kondisi “state-captured” dan ketiadaan oposisi ideologis di parlemen, sulit berharap pada “check and balance” untuk mempersempit ruang korupsi.
Satu-satunya tumpuan terbesar untuk memerangi korupsi adalah masyarakat sipil yang terorganisir.
Partisipasi masyarakat sipil dalam memerangi korupsi punya medan yang luas. Mulai dari kampanye luas untuk tidak memilih politisi korup dalam Pemilu/Pilkada, memperluas kanal pengaduan praktik korupsi, hingga mendorong konsep penganggaran partipatoris (participatory budgeting) dalam penyusunan anggaran pembangunan, terutama di tingkat kota/kabupaten hingga desa/kelurahan.
Akhir kata, dirgahayu Republik Indonesia. Semoga Indonesia lekas merdeka dari korupsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.