Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Feri Kusuma
Aktivis

Aktivis Organisasi nonpemerintah

Terbitkan Perppu Peradilan Militer

Kompas.com - 18/08/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

HASIL jajak pendapat Litbang Kompas pada 8-11 Agustus, sebagian besar responden (83,9 persen) menyatakan setuju dengan wacana revisi terhadap UU Peradilan Militer (Kompas.15/8/2023).

Angka tersebut menunjukkan cukup besar perhatian dan tuntutan publik. Hal ini adalah modal penting bagi jalan perbaikan UU Peradilan Militer.

Sejak lama, UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, merupakan masalah serius yang menuntut perhatian dari semua pihak. Pemberlakuan UU ini telah menimbulkan dampak cukup luas terhadap penegakan hukum, hubungan antarinstitusi negara, politik, sosial, dan HAM.

Perintah Konstitusi

Secara substansi, UU Peradilan Militer memiliki pertentangan sangat mendasar dengan norma UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dengan kata lain, produk hukum ini inkonstitusional.

Produk hukum yang inkonstitusional, maka konsekuensi hukumnya harus segera direvisi atau dicabut.

Perbaikan UU ini memang suatu keharusan. Terlebih lagi, semua peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pembentukan UU Peradilan Militer, telah mengalami perubahan dan beberapa telah dicabut digantikan dengan undang-undang baru.

Seperti UU tentang Mahkamah Agung dan UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, masing-masing telah mengalami dua kali perubahan.

Sementara undang-undang yang telah dicabut atau dinyatakan tidak berlaku, di antaranya:

  1. UU No. 20/1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara sebagaimana diubah dengan UU No. 1 Tahun 1988, telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara.
  2. UU No. 2 Tahun 1988 tentang Prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia telah dicabut oleh UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.
  3. UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman telah dicabut dan sekarang berlaku UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Selain aspek dasar hukum di atas, istilah atau nomenklatur masa lalu seperti “prajurit Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), Panglima ABRI, Menteri Pertahanan Keamanan” cukup banyak ditemukan dalam UU Peradilan Militer.

Padahal, UUD 1945 dan instrumen hukum lainnya telah menentukan istilah TNI dan Polri, serta mengatur peran dan fungsi beserta batasan kewenangan masing-masing lembaga negara sederajat itu.

Begitu pula halnya dengan istilah “Menteri Pertahanan Keamanan” sudah dihapus digantikan dengan nomenklatur “Menteri Pertahanan” sebagaimana diatur di UUD 1945, UU Pertahanan Negara, UU TNI, UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dan lainnya.

Di samping itu, keberadaan UU Peradilan Militer jika dihubungkan dengan ketentuan terkait asas materi muatan peraturan perundang-undangan yang baik sebagaimana diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka makin tegas produk hukum ini tidak mencerminkan asas materi muatan; (1) Asas kemanusiaan, (2) Asas pengayoman, (3) Asas kebangsaan, (4) Asas ketertiban dan kepastian hukum, (5) Asas kesimbangan, keserasian, dan keselarasan, (6) Asas keadilan, dan (7) Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.

Kesamaan di hadapan hukum

UU Peradilan Militer memberikan perlakuan khusus bagi TNI sekaligus “perlindungan hukum.” Perangkat hukum ini membentengi pelaku (prajurit) dari proses peradilan pidana umum.

Apapun tindak pidana umum yang subjeknya (pelaku) dari TNI, maka proses hukumnya harus tunduk pada sistem peradilan militer.

Dengan kata lain, selama ia militer atau dipersamakan yang melakukan tindak pidana umum seperti penyalahgunaan narkoba, pemerkosaan, penyiksaan, pembunuhan, korupsi, pencemaran nama baik, penculikan, penghilangan orang secara paksa dan lain-lain, maka tetap tunduk di bawah lingkungan sistem peradilan militer.

Pada titik ini, ketidakadilan substansial semakin nampak terang. Sistem hukum ini telah menciptakan kasta atau pembedaan dalam penegakan hukum. Hal ini bertentangan dengan asas kesamaan di depan hukum.

Di sisi lain, dengan sistem demikian, maka membuka ruang lebar praktik penyalahgunaan kekuasaan dan praktik impunitas (kekebalan hukum).

Persoalan ini semakin rumit dengan tidak adanya mekanisme kontrol dan koreksi, bahkan tidak dapat disentuh oleh aparat penegak hukum lainnya.

Menariknya lagi dengan instrumen hukum ini, militer bisa menjadi penasihat hukum atau pengacara.

Militer berprofesi sebagai penasihat hukum atau pengacara mungkin hanya ditemukan di Indonesia. Ini bisa menambah daftar keunikan Indonesia di mata dunia.

Militer berfungsi sebagai penasihat hukum berlaku terhadap prajurit militer atau yang dipersamakan maupun keluarganya yang melakukan tindak pidana umum. Kata “keluarga” cakupannya sangat luas.

Militer berprofesi sebagai penasihat hukum tentu saja bertentangan dengan KUHAP dan UU Advokat.

Advokat adalah salah unsur aparat penegak hukum yang menjalankan jasa hukum di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan untuk membela hak tersangka atau terdakwa dan sekaligus untuk menjaga keseimbangan kekuasaan aparat penegak hukum lainnya.

Militer berprofesi sebagai penasihat hukum, jika terus dibiarkan, maka bisa dibayangkan kekacauan sistem penegakan hukum, dan di dalam ruang-ruang pengadilan umum kedepan.

Bisa jadi pula kedepan militer termasuk anggota Organisasi Advokat, atau menjadi asisten advokat, dan mungkin sekalian jadi aktivis HAM.

Berbicara tentang asas equality before the law atau asas persamaan di hadapan hukum harus dipahami sebagai kesamaan asas, proses dan mekanisme hukum yang sama diberlakukan pada siapapun subjek hukumnya, tanpa terkecuali. Artinya semua manusia sama dan setara di depan hukum.

Ketika disederhanakan, penerapan asas persamaan di hadapan hukum adalah setiap orang baik prajurit TNI, Polisi, pegawai negara lainya, dan masyarakat umum, selama subjek hukum tersebut melakukan tindak pidana sejenis, misalkan pencemaran nama baik, pembunuhan, penculikan, penghilangan orang secara paksa, pemerkosaan, narkoba, maka pelaku tersebut harus tunduk pada lingkungan peradilan yang sama, yaitu pengadilan umum.

Asas kesamaan di depan hukum merupakan asas pokok dalam norma hukum dan juga dalam konsepsi HAM.

Mengenai ketentuan hukum tentang asas persamaan di hadapan hukum telah diatur dalam banyak peraturan perundang-undangan.

Secara konstitusional diatur secara eksplisit dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yaitu “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Kemudian di dalam BAB XA “Hak Asasi Manusia” pada Pasal 28D ayat (1) dinyatakan bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”

Menurut Ramly Hutabarat, sebagaimana dikutip dari hukumonline.com menyebutkan ketika dalam konstitusi hal ini dicantumkan, maka konsekuensi logisnya penguasa dan penegak hukum haruslah melaksanakan dan merealisasikan asas ini dalam kehidupan bernegara.

Teori equality before the law dalam UUD 1945 adalah suatu mata rantai antara hak dan kewajiban yang harus berfungsi menurut kedudukannya masing-masing.

Kesamaan di hadapan hukum atau asas equality before the law mengandung makna setiap warga negara harus diperlakukan adil oleh aparat penegak hukum dan pemerintah.

Dalam konsepsi dan norma HAM, asas persamaan di hadapan hukum merupakan salah satu unsur penting. Jika unsur ini diabaikan, maka dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran HAM.

Instrumen pokok HAM Internasional, yaitu DUHAM (Deklarasi HAM), mengenai hal ini disebutkan pada Pasal 7 “semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi….”

Kemudian, pada Pasal 10 dikatakan “setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.”

Dalam Kovenan Internasional Hak Sipil Politik sebagaimana telah diratifikasi melalui UU No.12/2005, juga mengatur hal yang sama. Misalkan, Pasal 16 “setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum di mana pun ia berada.”

Selanjutnya, Pasal 26 dikatakan “semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun.”

Berikutnya, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, pada Pasal 3 ayat (2) dikatakan “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.”

Ayat (3) “setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.”

Selain itu, Pasal 1 ayat 6 yang memberikan pengertian tentang pelanggaran HAM. Pasal ini isinya; “pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.”

Di samping itu, KUHAP juga memberikan titik tekan yang sama. Konsiderans Menimbang huruf (a) KUHAP disebutkan “bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Menurut UU Kekuasaan Kehakiman, pada Pasal 4 ayat (1) dikatakan “pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.”

Selain ketentuan-ketentuan hukum di atas, di dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, juga ditekankan pada Pasal 6 ayat (1) huruf (h) “materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan.”

Sejalan dengan prinsip persamaan di depan hukum, maka kompetensi absolut peradilan militer telah dibatasi hanya berwenang memeriksa dan mengadili tindak pidana militer. Sedangkan, tindak pidana umum merupakan kompetensi absolut peradilan umum.

Dengan demikian, apapun jenis tindakan pidana umum yang dilakukan oleh prajurit militer, maka peradilan umum yang berwenang memeriksa dan mengadili.

Penegasan mengenai pemisahan dan wilayah kekuasaan peradilan militer dengan peradilan umum telah dinyatakan secara eksplisit dalam:

Pertama, TAP MPR No. VII/MPR/2000, Pasal 3 ayat (4) huruf (a) bahwa “prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.”

Kedua, UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 65 ayat (2) dinyatakan “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”

Ketiga, UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 25 ayat (4), yaitu “Peradilan militer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana militer sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Selain ketentuan di atas, Pasal 16 UU Kekuasaan Kehakiman memberikan penekanan bahwa “tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.”

Ketentuan-ketentuan hukum di atas memberikan pesan sangat kuat tentang kompetensi absolut peradilan umum, dan termasuk harus mendahulukan peradilan umum daripada peradilan militer dalam memeriksa dan mengadili tindak pidana umum yang dilakukan oleh militer.

Sekalipun semua ketentuan-ketentuan UUD 1945 dan hingga peraturan hukum lainnya cukup terang, namun ternyata belum cukup memberikan pemahaman dan rujukan bagi TNI.

Sebaliknya, yang dikedepankan justru hanya Pasal 74 ayat (1) UU TNI, yaitu “ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan.

Ayat (2) “selama undang-undang peradilan militer yang baru belum dibentuk, tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer”.

Isi pasal tersebut diinterprestasikan dengan menggunakan penafsiran secara restriktif (sempit) dan destruktif.

Argumentasinya selalu berlindung di balik pasal ini agar dapat berpegang teguh pada UU Peradilan Militer, yang nyatanya tidak relevan lagi. Akibatnya telah menimbulkan beragam kecurigaan, kontroversial, dan kebingungan dalam memaknai hukum.

Sejatinya, pasal 74 juga harusnya ditafsirkan secara sistematis dan konstruktif. Selain itu, jika memaknai kalimat “undang-undang peradilan militer yang baru diberlakukan,” maka seharusnya ada kewajiban mutlak atau tanggung jawab untuk segera membentuk “UU Peradilan Militer yang baru.”

Di samping itu, pengutamaan penerapan UU Peradilan Militer dibandingkan undang-undang yang lain, juga menunjukkan dominasi dan juga intervensi.

Karena di dalam asas-asas hukum dikenal dengan UU yang bersifat khusus mengesampingkan UU yang bersifat umum (asas lex specialis derogat legi generali), UU yang dikeluarkan sesudahnya mengesampingkan UU yang dikeluarkan sebelumnya (lex posteriori derogat legi priori), dan UU yang lebih tinggi mengesampingkan UU yang lebih rendah (lex superior derogat legi inferior).

Langkah politik presiden

Sudah saatnya pemerintah mengambil langkah konkret dan tepat guna untuk menyelesaikan persoalan hukum ini. Tindakan mendasar dalam upaya perubahan ini, terletak pada political will Presiden, DPR, Menko Polhukam, dan TNI.

Tanpa kesungguhan dari Presiden Joko Widodo dan pihak-pihak tersebut sulit kiranya dapat tercapai perbaikan demi terwujudnya pembangunan negara hukum.

Presiden Joko Widodo dari dulu sudah berjanji akan mereformasi UU Peradilan Militer, seperti yang ia dituangkan dalam Nawa Cita.

Wakil Presiden Ma’ruf Amin telah menyebutkan UU Peradilan Militer perlu segera disempurnakan.

Selain itu, Menko Polhukam Mahfud MD yang selama ini terkenal kritis dan gesit mendorong perbaikan-perbaikan hukum, juga telah mengutarakan perlu segera dibahas perubahan UU Peradilan Militer.

Di samping itu, Panglima TNI Laksamana Yudo Margono mengaku membuka pintu dan mempersilakan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer untuk direvisi.

Sebaiknya Presiden Jokowi segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Peradilan Militer. Langkah seperti ini lazim dilakukan oleh Presiden Jokowi dalam menyikapi persoalan hukum.

Langkah politik hukum Presiden menerbitkan Perppu Peradilan Militer lebih tepat dibandingkan proses legislasi biasa.

Terlebih lagi syarat penerbitan Perppu sudah lebih dari kata cukup jika mengacu pada standar objektif penerbitan Perppu yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009.

Dalam Putusan MK terdapat tiga syarat, pertama adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau sudah ada tapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang sesuai prosedur biasa karena akan membutuhkan waktu lama, sedangkan keadaan yang mendesak perlu kepastian untuk diselesaikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Indonesia Jadi Tuan Rumah Forum Air Dunia Ke-10 di Bali

Indonesia Jadi Tuan Rumah Forum Air Dunia Ke-10 di Bali

Nasional
Gantikan Yusril Jadi Ketum PBB, Fahri Bahcmid Fokus Jaring Kandidat Pilkada

Gantikan Yusril Jadi Ketum PBB, Fahri Bahcmid Fokus Jaring Kandidat Pilkada

Nasional
APEC 2024, Mendag Zulhas Sebut Indonesia-Korsel Sepakati Kerja Sama di Sektor Mobil Listrik dan IKN

APEC 2024, Mendag Zulhas Sebut Indonesia-Korsel Sepakati Kerja Sama di Sektor Mobil Listrik dan IKN

Nasional
Kebebasan Pers Vs RUU Penyiaran: Tantangan Demokrasi Indonesia

Kebebasan Pers Vs RUU Penyiaran: Tantangan Demokrasi Indonesia

Nasional
Tanggapi Keluhan Warga, Mensos Risma Gunakan Teknologi dalam Pencarian Air Bersih

Tanggapi Keluhan Warga, Mensos Risma Gunakan Teknologi dalam Pencarian Air Bersih

Nasional
Profil Fahri Bachmid Gantikan Yusril Ihza Mahendra Jadi Ketum PBB

Profil Fahri Bachmid Gantikan Yusril Ihza Mahendra Jadi Ketum PBB

Nasional
Ibu Negara Beli Batik dan Gelang di UMKM Mitra Binaan Pertamina

Ibu Negara Beli Batik dan Gelang di UMKM Mitra Binaan Pertamina

Nasional
GWK Jadi Lokasi Jamuan Makan Malam WWF Ke-10, Luhut: Sudah Siap Menyambut Para Tamu

GWK Jadi Lokasi Jamuan Makan Malam WWF Ke-10, Luhut: Sudah Siap Menyambut Para Tamu

Nasional
Hujan Kritik ke DPR dalam Sepekan karena Pembahasan 3 Aturan: RUU MK, Penyiaran, dan Kementerian

Hujan Kritik ke DPR dalam Sepekan karena Pembahasan 3 Aturan: RUU MK, Penyiaran, dan Kementerian

Nasional
Yusril Ihza Mahendra Mundur dari Ketum PBB, Digantikan Fahri Bachmid

Yusril Ihza Mahendra Mundur dari Ketum PBB, Digantikan Fahri Bachmid

Nasional
PDI-P Dianggap Tak Solid, Suara Megawati dan Puan Disinyalir Berbeda

PDI-P Dianggap Tak Solid, Suara Megawati dan Puan Disinyalir Berbeda

Nasional
Jokowi Disebut Titipkan 4 Nama ke Kabinet Prabowo, Ada Bahlil hingga Erick Thohir

Jokowi Disebut Titipkan 4 Nama ke Kabinet Prabowo, Ada Bahlil hingga Erick Thohir

Nasional
Akan Mundur dari PBB, Yusril Disebut Bakal Terlibat Pemerintahan Prabowo

Akan Mundur dari PBB, Yusril Disebut Bakal Terlibat Pemerintahan Prabowo

Nasional
Yusril Bakal Mundur dari Ketum PBB demi Regenerasi

Yusril Bakal Mundur dari Ketum PBB demi Regenerasi

Nasional
Hendak Mundur dari Ketum PBB, Yusril Disebut Ingin Ada di Luar Partai

Hendak Mundur dari Ketum PBB, Yusril Disebut Ingin Ada di Luar Partai

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com