SAYA yakin banyak orang yang menganggap bahwa serangan fajar saat Pemilu adalah tindakan keliru, karena membuat arah demokrasi melenceng dari tujuan awalnya.
Sebagai pengingat, demokrasi adalah sistem bernegara di mana suara setiap warga diakui dalam memilih pejabat publik, yaitu anggota parlemen (lembaga legislatif, DPR dan DPD) dan lembaga eksekutif (kepala pemerintahan) dari tingkat nasional hingga tingkat desa, dari presiden hingga kepala desa.
Serangan fajar yang berulang setiap pemilu kiranya telah ikut menjadikan Indonesia sebagai negara yang cacat demokrasi (flawed democracy) menurut the Economist Intelligence Unit, London.
Dalam serangan fajar, calon peserta pemilu/pilkada memberi selembar uang kepada pemilih, pada pagi buta saat hari pencoblosan, atau beberapa hari sebelumnya.
Pemilih mencoblos calon tersebut dengan menganggapnya sebagai balas budi, atau mungkin sebagai ganti ongkos jalan ke TPS.
Semakin besar uang yang dibagikan calon, semakin diperhatikan oleh pemilih yang menerima uang dari beberapa calon.
Maka calon yang paling banyak modalnya, cenderung akan dipilih oleh lebih banyak orang, dan kemungkinan besar akan menang. Padahal, yang seharusnya bukan begitu.
Calon kepala daerah yang programnya selaras dengan aspirasi warga, mestinya yang dipilih oleh warga sehingga menang. Banyak warga akan terpenuhi kebutuhan dan aspirasinya, dan terselesaikan kesulitan hidupnya.
Namun warga bukannya tidak menggunakan akal sehat. Dari pengalaman pemilu/pilkada sebelumnya, calon yang programnya menarik, ternyata tidak merealisasikan programnya.
Pemilih kecewa, tapi tidak bisa menuntut. Banyak alasan diucapkan kepala daerah yang menang itu ketika janjinya ditagih.
Maka daripada hati dongkol, warga merasa lebih baik memilih calon yang memberi uang, walau hanya sekali dan nilainya tidak begitu besar. Ada lingkaran kebutuhan dan penyediaan dalam praktik serangan fajar yang harus diputus.
Masalah lain, modal uang untuk serangan fajar tidak datang dari nenek moyang calon. Kalau pun betul, modal itu harus kembali utuh, bahkan lebih.
Yang lebih umum adalah modal itu dikumpulkan dari usaha ilegal selama menjabat pada periode sebelumnya.
Calon petahana lebih paham bagaimana memanfaatkan kekuasaan untuk mencari modal guna pilkada berikutnya, untuk dirinya atau untuk keluarganya yang mencalonkan diri.
Yang juga banyak terjadi adalah sang calon mendapat modal dari pengusaha yang memiliki dana untuk diinvestasikan. Tentu saja modal itu harus dikembalikan dalam bentuk uang atau proyek.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.