JAKARTA, KOMPAS.com - Peluang Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo untuk memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dinilai semakin terbuka, bila berkaca dari banyaknya jumlah kursi partai politik (parpol) pendukung Prabowo di parlemen.
Namun, pengamat politik dari Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam menyebutkan bahwa ada syarat untuk hal itu, yakni memastikan mesin parpol pendukung Prabowo benar-benar bergerak untuk memenangkan Menteri Pertahanan itu.
"Jika mesin politik dari partai-partai pendukung itu solid dan bisa dikawal dengan optimal, maka potensi kemenangan bisa semakin terbuka," kata Umam saat dihubungi Kompas.com, Senin (14/8/2023).
Baca juga: Setelah Deklarasi Bersama 4 Partai Mengusung Prabowo Subianto...
Untuk diketahui, koalisi pendukung Prabowo terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional yang menguasai sekitar 46 persen kursi di DPR.
Umam menjelaskan, jumlah kursi tersebut menggambarkan kekuatan yang dimiliki kubu Prabowo untuk memenangkan Pilpres 2024.
"Jumlah kursi parlemen yang dimiliki partai merupakan gambaran inti mesin politik parpol, di mana anggota dewan itu memiliki penguasaan teritorial, penguasaan logistik, dan jaringan komunikasi yang telah lama intens digarap selama 5 tahun terakhir," kata Umam.
Baca juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas Cawapres Prabowo Bukan sebagai Penentu Utama
Kendati demikian, Umam menegaskan bahwa jumlah kursi yang dimiliki di parlemen bukanlah jaminan untuk memenangkan pilpres.
Hal itu setidaknya terbukti pada Pilpres 2014 lalu ketika Jokowi keluar sebagai pemenang mengalahkan Prabowo yang punya koalisi lebih gemuk.
Dalam hal ini, Umam menyebutkan, modal jumlah kursi yang dikuasai kubu Prabowo bisa saja tidak berbuah kemenangan apabila mesin parpol pendukungnya tidak solid.
"Meskipun Prabowo memiliki dukungan dengan basis kursi parlemen sebesar 40-an persen, namun efektivitas mesin politiknya belum tentu bisa solid," kata Umam.
Baca juga: Survei LSI Denny JA: Elektabilitas Prabowo Menanjak, Ganjar Naik-Turun, Anies Cenderung Turun
"Itu terjadi ketika ada agenda kepentingan partai pengusungnya yang tidak terpenuhi, sehingga keputusan politik elite partai dengan mesin partai di akar rumput tidak berjalan secara konsisten," imbuh dia.
Umam mengatakan, situasi itu bisa terjadi, misalnya jika Prabowo memilih Menteri BUMN Erick Thohir sebagai calon wakil presiden, bukannya Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar.
Situasi tersebut, kata Umam, bisa membuat PKB setengah hati mendukung Prabowo dan menyebabkan terjadinya split ticket voting.
"Jadi, kuncinya di kesatuan komando dalam koalisi dan tidak adanya split ticket voting di dalam masing-masing partai pengusung capres-cawapres," ujar Umam.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.