Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siti Zuhro Anggap Parpol Senayan Makan Buah Simalakama "Presidential Threshold"

Kompas.com - 31/07/2023, 18:12 WIB
Vitorio Mantalean,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti utama politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Siti Zuhro, menilai bahwa 8 partai politik (parpol) yang duduk di DPR RI telah makan buah simalakama dari aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang mereka bikin tahun 2017.

Dengan aturan yang kerap disalahartikan sebagai presidential threshold ini, maka calon presiden dan wakil presiden hanya bisa diusung oleh parpol/gabungan parpol dengan raihan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional.

Di Senayan, hanya PDI-P satu-satunya parpol yang telah memenuhi ambang batas itu. Siti menegaskan, kebijakan ini terbukti sudah membuat rumit parpol-parpol selain PDI-P jelang Pilpres 2024.

"Tidak hanya partai menengah dan kecil, tetapi partai besar pun mumet dia, karena harus melakukan koalisi," kata Siti dalam focus group discussion Partai Buruh di Gedung Joang '45, Jakarta, Senin (31/7/2023).

Baca juga: Kikil Penyambung Rasa Muhaimin dan Puan di Tengah Alotnya Koalisi Pilpres

"Golkar merasakan, Gerindra merasakan, PKB merasakan semua partai menengah merasakan, tidak bisa mandiri dia," ungkap dia.

Siti menyebutkan, baru kali ini parpol-parpol terlihat tak mandiri dan tak percaya diri karena harus bergantung pada kekuatan politik lain.

Padahal, banyak parpol sudah memiliki jagoannya masing-masing yang berasal dari kader partai sendiri untuk berlaga di Pilpres 2024.

Ambil contoh, Gerindra sepakat mengusung ketua umum mereka, Prabowo Subianto. PKB satu suara calonkan Muhaimin Iskandar. Golkar ngotot mengajukan Airlangga Hartarto.

Baca juga: Prabowo dan Barisan Pendukungnya yang Kian Membesar...

Namun, semua itu buyar. Para ketua umum parpol masing-masing itu harus mengalah dengan peta politik demi mencari kemenangan partainya di Pilpres 2024, walau wajahnya tak masuk surat suara.

Siti berharap, parpol-parpol ini akan melakukan revisi dari kebijakan yang disebutnya tidak relevan, tidak signifikan, dan tidak mendesak itu.

Sebab, berbagai elemen masyarakat sipil dan parpol sudah berupaya melakukan revisi melalui uji materi atas ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu itu ke Mahkamah Konstitusi.

Namun, dari 30 gugatan yang sudah dilayangkan, nihil yang dikabulkan majelis hakim.

"Ini yang mungkin ke depan kita mintakan partai politik itu melakukan revisi (ketentuan ambang batas pencalonan presiden), karena kan mereka sendiri sudah merasakan," ungkap Siti.

"Baru kali ini kita bisa menyaksikan partai-partai politik tidak percaya diri untuk membangun koalisi dan bahkan untuk mengusung calon-calonnya sendiri. Dengan dipayungi konstitusi, seharusnya itu ada independensi, dan ada rasa percaya diri yang kuat, tapi kok tidak. Kok nunggu cawe-cawe," ujar dia.

Baca juga: GASPOL! Hari Ini: Alasan Budiman Bertemu Prabowo dan Isu Pindah ke Gerindra

Sejauh ini, MK selalu menegaskan pendiriannya bahwa presidential threshold dapat memperkuat sistem presidensial yang dianut Indonesia, agar presiden dan wakil presiden terpilih memiliki kesamaan frekuensi dengan suara mayoritas parlemen.

Dalam putusan ke-27, misalnya, yaitu nomor perkara 4/PUU-XXI/2023, Mahkamah menegaskan bahwa mereka masih tetap pada pendirian itu dan belum berubah pikiran.

Partai Buruh menjadi pihak ke-31 yang mengajukan gugatan sejenis pada bulan ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Biaya Ibadah Umrah dan Kurban SYL pun Hasil Memeras Pejabat Kementan

Nasional
SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

SYL Sebut Perjalanan Dinas Atas Perintah Presiden untuk Kepentingan 280 Juta Penduduk

Nasional
DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

DKPP Sebut Anggarannya Turun saat Kebanjiran Kasus Pelanggaran Etik

Nasional
Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Lima Direktorat di Kementan Patungan Rp 1 Miliar Bayari Umrah SYL

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik, Diprediksi Terus Bertambah Jelang Pilkada

Nasional
KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait 'Food Estate' Ke Kementan

KPK Bakal Usut Dugaan Oknum BPK Minta Rp 12 Miliar Terkait "Food Estate" Ke Kementan

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Sewa 'Private Jet' SYL Rp 1 Miliar

Pejabat Kementan Tanggung Sewa "Private Jet" SYL Rp 1 Miliar

Nasional
Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Pejabat Kementan Tanggung Kebutuhan SYL di Brasil, AS, dan Arab Saudi

Nasional
Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Gubernur Maluku Utara Akan Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 106,2 Miliar

Nasional
MK Jadwalkan Putusan 'Dismissal' Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

MK Jadwalkan Putusan "Dismissal" Sengketa Pileg pada 21-22 Mei 2024

Nasional
Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Mahfud Ungkap Jumlah Kementerian Sudah Diminta Dipangkas Sejak 2019

Nasional
Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Tanggapi Ide Tambah Kementerian, Mahfud: Kolusinya Meluas, Rusak Negara

Nasional
[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

[POPULER NASIONAL] Perbandingan Jumlah Kementerian Masa Megawati sampai Jokowi | Indonesia Kecam Serangan Israel ke Rafah

Nasional
Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 12 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 11 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com