GENDERANG Perhelatan Pilpres 2024, sejatinya telah ditabuh sejak tahun-tahun kemarin. Musim semi Pilpres yang datang lebih awal itu, ibarat membangun rumah.
Hari ini jelang tujuh bulan perhelatan digelar, rumah itu sudah mulai berdiri, atapnya sudah terpasang dengan deklarasi dukungan partai politik mengusung para kandidat presiden. Fondasi bangunan pencalonan para kandidat presiden itu, sudah barang tentu adalah partai pengusung.
Pengumpul suara (vote getter) telah menghidupi diskusi-diskusi publik kita tentang dinamika pencapresan selama setahun terakhir.
Namun, penulis tergelitik dengan narasi kampanye tim dan kandidat presiden Ganjar Pranowo, seperti masifnya aneka spanduk, baliho bahkan billboard bertuliskan “Jokowo Pilih Ganjar”, “Lanjutkan Bersama Ganjar” yang terpampang seantero negeri.
Narasi itu diperkuat para punggawa relawan ganjar, seperti Bung Adian Napitupulu, yang menegaskan kembali bahwa "Jokowi itu Ganjar, Ganjar itu Jokowi".
Upaya massif tim Ganjar tentu memancing tanda tanya publik, apakah fondasi dari pengumpul suara utama, yaitu dukungan dari Presiden Jokowi, mulai rapuh dan terjadi keretakan, sehingga memerlukan baliho, spanduk, dan kata-kata Bung Adian untuk mengecor kembali keretakan fondasi tersebut?
Setidaknya terdapat tiga tafsir atas upaya tersebut. Pertama, dalam pendekatan komunikasi interaksi simbolik, pendekatan yang terdiri dari tiga prinsip pokok yang diangkat Herbert Blumer dalam karnya Symbolic Interactionism Perspective and Method (1986), yaitu bahasa (language), pemikiran (thought), dan makna (meaning).
Pendekataan ini menegaskan bahwa makna tidak terbentuk semata dari objek yang coba disampaikan. Makna terbentuk dari aneka interpretasi yang dimodifikasi lewat interaksi sosial.
Dalam konteks strategi Ganjar dan timnya, yang cenderung mengarus utamakan klaim dukungan Jokowi, tentunya pandangan publik tidak selalu inheren dengan pesan tersebut, namun dibaca sebagai interaksi simbolik.
Publik mengaitkannya dengan konteks, yaitu, tanda tanya apakah Jokowi mulai lemah dukungannya terhadap Ganjar? Dan apakah ini berhubungan dengan mesranya hubungan Jokowi – Prabowo Subianto?
Tafsir kedua, jika betul klaim dukungan Jokowi terhadap ganjar melemah sehingga perlu ditegakan dengan mendirikan aneka baliho, maka ini merupakan upaya politik saling menyandera.
Hal itu tercermin dari aneka sindiran tentang hutang politik Jokowi kepada PDIP, ataupun upaya mengingatkan kembali komitmen personal Jokowi lewat kata-katanya bahwa presiden harus berambut putih, dan pujian verbal lainnya yang dianggap menguatkan Ganjar.
Mengikat komitmen lewat bahasa memang memiliki dasar dalam khazanah ilmu komunikasi.
Samovas dan Porter dalam Communication Between Cultures (2012), menegaskan bahwa komunikasi bersifat irreversible, bahwa kata-kata yang dilempar ke publik tidak dapat diubah atau ditarik kembali.
Namun dalam konteks Jokowi, pujian serupa juga pernah dialamatkan kepada Prabowo. Bahkan dengan bahasa yang lebih terang seperti pujiannya “bahwa setelah ini, jatah Pak Prabowo”.