Hal itu menjawab kenapa deretan Musda Golkar berlangsung sangat lama, dan hasilnya banyak sekali yang bercorak aklamasi.
Longgarnya aturan internal partai yang demokratis dan besarnya friksi internal partai, ditambah pelanggaran rezim pemerintah dalam menghargai otoritas partai, khususnya mereka yang oposisi, membuat aktor-aktor partai cenderung menarik tangan eksternal untuk ikut bermain.
Tangan pemerintah ikut kotor dengan mengabsahkan kepengurusan partai. Sikap politis pemerintah memilih satu dari dua klaim kepengurusan partai, adalah lompatan politik yang mencederai demokrasi.
Persoalan partai seperti itu, menurut penulis, semestinya menjadi ranah internal partai untuk diselesaikan lewat mitigasi mekanisme musyawarah internal, seperti mahkamah kehormatan, pleno, kongres luar biasa, dan paling jauh semestinya disengketakan lebih dahulu di meja peradilan.
Mendemokratisasi parpol tidak cukup hanya dengan panduan Pasal 13 Poin D UU Nomor 2 tahun 2008 Tentang Partai Politik.
Pasal tersebut menyatakan, kewajiban parpol untuk menjunjung supremasi hukum, demokrasi dan hak asasi manusia, lalu membiarkan parpol mendefinisikan sendiri mekanisme demokrasi internal mereka, yang faktanya cenderung kearah otoriter ketimbang demokratis.
Mendemokratisasi parpol mensyaratkan terjadi penguatan kelembagaan parpol terlebih dahulu. Pelembagaan parpol yang kuat hanya terjadi ketika parpol bertransformasi menjadi partai terbuka.
Parpol terbuka wajib memastikan bahwa partai tidak dikendalikan atau menjadi kendaraan monopoli ketua umum ataupun faksi-faksi segelintir elite saja.
Parpol terbuka seperti itu dapat terwujud manakala pembatasan kekuasaan diaplikasikan dalam partai politik.
Pembatasan kekuasaan tidak hanya menyangkut masa jabatan ketua umum partai politik, yang bisa kita sepakati bahwa jabatan ketua umum memiliki limitasi kekuasan untuk satu periode selama lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu periode berikutnya.
Selain masa jabatan ketua umum, isu paling sentral dalam pembatasan parpol, yaitu mendistribusikan fungsi-fungsi kepartaian, seperti penetapan calon presiden, bupati, wali kota.
Penetapan nomor urut calon legislatif hingga mekanisme pengawasan dan evaluasi atas haluan partai politik, yang dijalankan oleh kader partai yang menduduki jabatan legislatif maupun eksekutif, ditetapkan oleh parpol secara terbuka dan membuka keterlibatan semua entitas partai politik.
Hal itu bisa dicapai jika semua fungsi kepartaian tersebut yang selama ini jadi domain ketua umum parpol dialihkan dan didesentralisasi menjadi fungsi badan otoritatif di dalam partai politik, yang bersifat imparsial dan berorientasi merit sistem.
Contohnya dalam memilih calon presiden, partai wajib mengikuti keputusan Badan Konvensi Capres Parpol.
Begitu juga dalam menentukan nomor urut caleg dan rekomendasi calon kepala daerah, juga ditetapkan oleh badan otonom khusus yang diisi oleh unsur kelembagaan lengkap.
Badan otonom khusus tersebut memberi penilai dan penetapan yang mencerminkan kepentingan dan nilai parpol, ketimbang pilihan yang bias personal dan faksionalisme akut seperti hari ini.
Pembatasan lainnya dapat kita kembangkan dengan format yang beragam. Esensi pembatasan tersebut hanya untuk memberikan ruang demokrasi menggelar karpet merah bagi masyakat luas memiliki partai politik.
Pembatasan seperti itu, menjadikan posisi ketua umum tidak lagi sebagai pengendali utama paling otoritatif seperti hari ini. Jabatan ketua umum akan didegradasi tidak lebih sebagai administrator partai politik.
Akhirnya partai politik disehatkan dengan meningkatnya partisipasi publik, karena partai politik sudah tidak lagi melayani penguasa, namun memuliakan hak warga negara.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.