JAKARTA, KOMPAS.com - Lambannya langkah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam memulai pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana diperkirakan karena muncul kekhawatiran beleid itu bisa berbalik menjerat kalangan politikus kotor.
Menurut mantan penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abdullah Hehamahua,
"Jika DPR sekarang mengesahkan undang-undang tersebut, itu sama dengan mereka menyiapkan tali gantungan bagi diri sendiri. Sebab, banyak aset yang dimiliki yang tidak bisa dipertanggungjawabkan," kata Abdullah saat dihubungi pada Kamis (13/7/2023).
menyoroti perbedaan kecepatan dalam pembahasan RUU Perampasan Aset dengan UU Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), UU Cipta Kerja, sampai UU Kesehatan.
Baca juga: Surpres RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Dibacakan, Arsul: Masih Ada 3 RUU Dibahas di Komisi III
Menurut Abdullah, posisi DPR saat ini hanya "stempel" kebijakan yang menguntungkan pemerintah.
"DPR saat ini hanya seperti corong pemerintah. Jadi wajar saja kalau DPR beralasan, setahun hanya bisa bahas dua UU. Padahal UU Minerba, amandemen UU KPK, UU Cipta Kerja disahkan dalam waktu relatif singkat," ujar Abdullah.
Secara terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai perlu ada desakan khusus kepada DPR supaya segera memulai pembahasan RUU Perampasan Aset.
"Masyarakat harus mendorongnya. Undang-Undang Perampasan Aset ini akan sangat membantu KPK dan penegak hukum lainnya dalam rangka pengembalian aset hasil korupsi atau kejahatan lainnya," ucap Fickar.
Baca juga: Soal RUU Perampasan Aset, Yasonna: Ya Kita Selesaikan Dong, Itu Prioritas
Sebelumnya, sebenarnya pimpinan DPR diharapkan membacakan surpres dalam rapat paripurna pada Selasa (11/7/2023) lalu. Namun, momen yang ditunggu-tunggu ternyata tidak terwujud.
Ketua DPR Puan Maharani lantas membeberkan alasan mengapa surpres RUU Perampasan Aset belum juga dibacakan.
“Jadi seperti yang selalu saya sampaikan, DPR sekarang ini memfokuskan untuk bisa menyelesaikan rancangan undang-undang yang ada di setiap komisinya, setiap tahun maksimal dua sesuai dengan tata terbitnya,” ujar Puan di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa lalu.
Jika 2 RUU sudah diselesaikan, maka setiap komisi baru dipersilakan membahas RUU yang baru. Namun, jika target 2 RUU belum selesai dibahas, maka tidak akan berlanjut ke dalam pembahasan RUU lain.
Baca juga: RUU Perampasan Aset Tak Kunjung Dibahas, Yasonna: Kami Tak Bisa Memerintah DPR
Puan mengatakan, saat ini Komisi III DPR tengah membahas sejumlah RUU, yakni revisi UU Narkotika dan perubahan keempat UU Mahkamah Konstitusi (MK).
Maka dari itu menurut dia sebaiknya Komisi III tetap menyelesaikan pembahasan RUU yang masih belum selesai supaya fokus.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi III DPR Habiburokhman mengeklaim mereka siap membahas RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Dia mengatakan rekan-rekan sejawat di Komisi Hukum itu selalu siap menerima tugas pembahasan RUU.
"Kami ini kan pasukan siap saja, kalau dimasukkan ke pansus (panitia khusus) atau panja (panitia kerja), ya kita siap membahasnya," kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (12/8/2023).
Baca juga: Komisi III Klaim Siap Bahas RUU Perampasan Aset jika Ditugaskan Pimpinan DPR
Meski begitu, Habiburokhman mengatakan, dia belum mengetahui alasan Pimpinan DPR tidak kunjung menugaskan alat kelengkapan dewan (AKD) membahas RUU Perampasan Aset.
Presiden Joko Widodo pun nampaknya gemas karena RUU Perampasan Aset tak kunjung dibahas oleh DPR RI. Padahal dia sudah mengirim surpres dan naskah RUU itu.
Ia menyatakan sudah sering memberikan dorongan agar beleid itu segera dibahas.
Baca juga: Puan Sebut Surpres RUU Perampasan Aset Belum Dibacakan karena Tunggu Antrean
"Masa saya ulang terus, saya ulang terus, saya ulang terus, ya engga lah. Sudah di DPR. Sekarang dorong saja yang di sana (DPR)," ungkap Jokowi usai meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial untuk 12 kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu di Aceh, 27 Juni 2023.
(Penulis : Tatang Guritno, Ardito Ramadhan | Editor : Diamanty Meiliana, Novianti Setuningsih)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.