Hal itu mereka lakukan karena khawatir semburan lumpur yang mencapai 5.000 meter kubik per hari bakal menenggelamkan desa mereka.
Warga dievakuasi sebanyak 25.000 jiwa mengungsi. Ada 10.426 unit rumah terendam lumpur dan 77 unit rumah ibadah terendam lumpur.
Semburan lumpur masih belum bisa dihentikan. Banyak pihak saling lempar bola untuk siapa yang bertanggung jawab.
Hingga kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Keputusan Presiden (KEPPRES) nomor 13 tahun 2006 tentang Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo.
Dalam Kepres tersebut disebutkan bahwa PT Lapindo Brantas bertanggung jawab melakukan penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan hidup dan masalah sosial yang ditimbulkan dari kejadian tersebut.
Pemerintah memutuskan membuang lumpur panas Lapindo Brantas ke laut tanpa proses pengolahan.
Keputusan ini diambil dalam rapat kabinet yang diikuti Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur Sidoarjo di Jakarta.
Pembuangan ke laut dilakukan karena lumpur dinilai tidak mengandung bahan berbahaya. Namun upaya pemerintah tetap tidak bisa menghentikan lumpur.
WALHI menggugat pihak swasta dan pemerintah terkait dampak masif lumpur Lapindo.
Enam tergugat pertama adalah pihak swasta PT Lapindo Brantas Inc (Lapindo), PT Energi Mega Persada Tbk, Kalila Energy Ltd, Pan Asia Entreprise, PT Medco Energy Tbk dan Santos Australia Ltd.
Sementara tergugat dari pihak pemerintah yakni Presiden Republik Indonesia, Menteri Energi Sumber Daya Manusia, BP Migas, Meneg Lingkungan Hidup, Gubernur Provinsi Jawa Timur dan Bupati Kabupaten Sidoarjo.
Dalam gugatan Walhi menuntut pengadilan untuk segera memerintahkan Menteri ESDM memanggil seluruh tergugat untuk segera mengalokasikan anggaran dan sumber daya untuk menghentikan semburan lumpur serta menjaminkan aset-asetnya sebagai pertanggungjawaban.
Presiden SBY kala itu mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).
Kepolisian Daerah Jawa Timur pernah menetapkan 13 tersangka, di antaranya yakni dari pihak PT Energi Mega Persada Tbk, PT Medici Citra Nusa, PT Tiga Musim Mas Jaya, dan Lapindo Brantas. Namun penyidikan tersebut dihentikan pada Agustus 2009.
Sidang Paripurna DPR dan putusan Mahkamah Agung menegaskan bahwa penyebab semburan Lapindo ialah faktor bencana alam sehingga tidak ada yang bisa dipidanakan dalam tragedi ini.