JAKARTA, KOMPAS.com - Isu "cawe-cawe" atau intervensi pejabat negara dalam pemilu mencuat belakangan ini karena pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Para politikus dan komentator politik menanggapi bahwa kontroversi ini lebih condong sebagai masalah etik, alih-alih masalah hukum.
Lantas, bagaimana sebenarnya peraturan di Indonesia mengatur "cawe-cawe" pejabat negara dalam pemilu, khususnya kampanye?
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan daftar pejabat negara yang tidak boleh dilibatkan sebagai pelaksana/tim kampanye pemilu.
Hal itu termuat dalam Pasal 280 ayat (2) dan (3). Dalam daftar itu, tidak ada presiden maupun kepala daerah. Pejabat-pejabat negara itu meliputi:
Baca juga: UU Pemilu Bolehkan Presiden hingga Wakil Bupati Ikut Kampanye, Simak Aturannya
Pejabat negara pada huruf a sampai d yang terbukti terlibat sebagai pelaksana/anggota tim kampanye diancam pidana maksimum 2 tahun penjara dan denda Rp 24 juta.
Sementara itu, pejabat negara pada huruf f sampai j diancam pidana maksimum 1 tahun penjara dan denda Rp 12 juta. Kepala desa pun bisa dikenakan pidana yang sama bila melakukan tindakan yang menguntungkan salah satu peserta pemilu.
Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, kepala dan perangkat desa yang terlibat dalam kampanye juga dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan/tertulis.
Hal itu termuat dalam Pasal 29 dan 30, serta Pasal 51 dan 52 UU Desa.
Apabila sanksi administratif itu tak dilaksanakan, maka mereka bisa diberhentikan sementara dan dilanjutkan dengan pemberhentian.
UU Nomor 23 Tahun 2014 dan Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Desa tidak mengatur ketentuan maupun sanksi untuk kepala daerah yang terlibat kampanye pemilu.
Baca juga: Bawaslu Tak Masalah Jokowi Cawe-cawe karena Belum Masa Kampanye
Kemudian, UU Pemilu mengatur bahwa presiden, wakil presiden, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota boleh terlibat dalam kampanye peserta pemilu dengan sejumlah syarat.
Syarat-syarat itu tercantum dalam Pasal 281, bunyinya:
UU Pemilu juga menegaskan bahwa presiden dan wakil presiden berhak melaksanakan kampanye.
Beleid ini juga membolehkan menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota menjadi anggota tim kampanye. Akan tetapi, para kepala daerah dilarang menjadi ketua tim kampanye.