Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Eng. Alfian Akbar Gozali
Dosen & Manajer Pengembangan Produk TI Telkom University

Dosen Telkom University, Penulis Buku Kecerdasan Generatif Artifisial

Ancaman Artificial Intelligence pada Pemilu 2024

Kompas.com - 30/06/2023, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PESTA demokrasi sedang berlangsung. Namun, ada ancaman tersembunyi yang muncul dari bayang-bayang teknologi modern, khususnya kecerdasan artifisial atau artificial intelligence (AI) yang dapat mengubah arah roda demokrasi dan menciptakan polarisasi dalam masyarakat.

"Bisakah organisasi menggunakan model bahasa AI seperti ChatGPT untuk mendorong pemilih berperilaku dengan cara tertentu?"

Begitulah pertanyaan Senator Josh Hawley kepada CEO OpenAI Sam Altman saat sidang Senat AS, 16 Mei 2023.

Altman menjawab bahwa dia memang khawatir beberapa orang mungkin menggunakan model bahasa untuk memanipulasi, membujuk, dan terlibat dalam interaksi satu lawan satu dengan pemilih.

Walaupun Altman tidak merinci, skenario ini memang sangat mungkin untuk diciptakan. Atau memang sudah mulai tercipta?

Bayangkan ada satu ahli AI yang mengembangkan mesin politik seperti ini dan diberi nama "Buzzer." Sebuah AI yang dikembangkan dengan tujuan memengaruhi dan mengarahkan suara pemilih.

Konsep ini mungkin terdengar mirip dengan langkah Facebook, Twitter, dan YouTube memanfaatkan AI untuk menjaga atensi pengguna. Namun dalam konteks ini, tujuannya lebih spesifik dan berorientasi politik.

"Buzzer" yang memiliki kemampuan untuk mempersonalisasi pesan berdasarkan perilaku dan preferensi pengguna di media sosial, bisa digunakan untuk memengaruhi pemilih.

Dengan teknik reinforcement learning, "Buzzer" dapat merancang pesan yang semakin efektif dalam memengaruhi pemilih.

Lebih jauh lagi, "Buzzer" memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan berevolusi sepanjang kampanye berlangsung, belajar dari pengalaman sebelumnya dan merespons tanggapan pemilih.

Mungkin kita masih ingat skandal Cambridge Analytica, di mana data dari 87 juta pengguna Facebook digunakan untuk memengaruhi pemilihan presiden AS 2016. Hal ini akan membawa kita pada konsep "Digital Twin".

"Digital Twin" adalah representasi digital dari seorang individu, dibuat berdasarkan jejak digital mereka di media sosial. Ketika digabungkan dengan AI seperti "Buzzer", "Digital Twin" ini dapat digunakan untuk merancang pesan kampanye yang sangat spesifik dan efektif.

Ada dua aspek penting yang menjadi sumber kekhawatiran: pertama, AI seperti "Buzzer" dapat memperkuat polarisasi masyarakat dengan mengirim pesan yang hanya memperkuat pandangan dan keyakinan yang menguntungkan klien dari "Buzzer".

Paling tidak konsep ini sudah dua kali terbukti sukses pada skandal pemilihan presiden di Amerika Serikat. Bahkan terindikasi kuat digunakan juga pada pemilihan umum untuk memutuskan Britania Raya keluar dari Uni Eropa (Brexit).

Kedua, dalam prosesnya, AI seperti ini bisa menciptakan retakan dalam masyarakat dan memicu konflik.

Sudah tidak terhitung bagaimana komunitas AI mengacukan petisi, bahkan tuntutan pada OpenAI untuk menghentikan aktivitas pembuatan model AI terbarunya, GPT-5.

Mereka yang mengajukan petisi bukan sembarang orang, di antaranya Elon Musk (CEO Tesla, SpaceX, dan Twitter), Steve Wozniak (co-founder Apple), Emad Mostaque (CEO DeepMind), serta para ahli AI lain.

Apakah alasan mereka mengajukan petisi karena ChatGPT kurang cerdas? Tidak, ChatGPT sudah sangat-sangat cerdas.

Alasan mereka mengajukan petisi karena kecerdasan ChatGPT belum terkontrol dan terjelaskan dengan baik. Istilah teknisnya belum responsible dan explainable.

Namun, kita bisa melihat dari sisi sebaliknya. Bayangkan jika "Buzzer" dan "Digital Twin" digunakan untuk meningkatkan elektabilitas seorang calon.

Dengan mengombinasikan data yang sangat spesifik tentang pemilih dan model AI yang canggih, kampanye politik dapat berubah menjadi lebih berorientasi pada pemilih. Mereka dapat membuat pesan yang benar-benar sesuai dan berarti bagi pemilih.

Lebih jauh lagi, AI sangat berpotensi digunakan pemerintah dalam kampanye untuk meningkatkan jumlah pemilih pada Pemilu 2024 kelak. Pada Pemilu 2019, tingkat partisipasi baru mencapai angka 81 persen.

Sebagai bangsa, kita harus sadar bahwa AI memiliki potensi besar untuk memengaruhi pesta demokrasi kita. Itulah mengapa pemerintah harus bergerak cepat untuk merumuskan regulasi yang akan melindungi kita dari penggunaan yang tidak etis dan berbahaya dari AI dalam politik.

Pemerintah harus memastikan bahwa teknologi ini digunakan untuk kebaikan bersama, bukan untuk menciptakan retakan di dalam masyarakat.

Mungkin akan datang suatu hari, ketika kita bangun pagi hari dan menyadari bahwa pesta demokrasi kita telah diambil alih oleh mesin AI.

Namun, dengan kesadaran dan pengetahuan yang tinggi, didukung oleh regulasi yang tepat, kita dapat dengan tenang menghadapinya.

Pemerintah harus memastikan AI digunakan untuk tujuan baik agar menciptakan pesta demokrasi yang lebih baik, lebih luber, lebih jurdil, dan lebih mewakili semua suara masyarakat.

Pemerintah juga harus memastikan bahwa pesta demokrasi kita tetap menjadi perayaan kebebasan. Bukan malah menjadi panggung perang antar "Buzzer" para elit politik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Gambarkan Kondisi Terkini Gaza, Dubes Palestina: Hancur Lebur karena Israel

Nasional
Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Ada Isu Kemensos Digabung KemenPPPA, Khofifah Menolak: Urusan Perempuan-Anak Tidak Sederhana

Nasional
DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

DPR Disebut Dapat KIP Kuliah, Anggota Komisi X: Itu Hanya Metode Distribusi

Nasional
Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Komisi II DPR Sebut Penambahan Kementerian Perlu Revisi UU Kementerian Negara

Nasional
Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Pengamat Dorong Skema Audit BPK Dievaluasi, Cegah Jual Beli Status WTP

Nasional
Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Maju Nonpartai, Berapa KTP yang Harus Dihimpun Calon Wali Kota dan Bupati Independen?

Nasional
Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Pengamat: Status WTP Diperjualbelikan karena BPK Minim Pengawasan

Nasional
DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

DKPP Terima 233 Aduan Pelanggaran Etik Penyelenggara Pemilu hingga Mei

Nasional
DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

DKPP Keluhkan Anggaran Minim, Aduan Melonjak Jelang Pilkada 2024

Nasional
Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Jawab Prabowo, Politikus PDI-P: Siapa yang Klaim Bung Karno Milik Satu Partai?

Nasional
Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Pengamat Sarankan Syarat Pencalonan Gubernur Independen Dipermudah

Nasional
Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Komnas Haji Minta Masyarakat Tak Mudah Tergiur Tawaran Haji Instan

Nasional
Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Libur Panjang, Korlantas Catat Peningkatan Arus Lalu Lintas

Nasional
DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

DKPP Terima 233 Pengaduan Pemilu dalam 4 Bulan Terakhir

Nasional
Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Prabowo: Beri Kami Waktu 4 Tahun untuk Buktikan ke Rakyat yang Tak Pilih Kita

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com