Jadi, menstigmatisasi penyalahguna narkoba tanpa memberi ruang memahami apa yang terjadi kepadanya akan menyulitkan mereka kembali hidup normal.
Situasi semakin suram karena saat ini mereka harus berjuang lebih keras lagi di tengah krisis pandemi, perang, dan resesi ekonomi yang mendera seantaro dunia.
Kesulitan-kesulitan seperti ini terjadi di berbagai belahan dunia dan menjadi faktor pendorong kerumitan dampak buruk narkoba. Karena itulah UNODC mengamini upaya destigmatisasi dan antidiskriminasi.
Keterpurukan para penyalahguna narkoba terjadi di berbagai belahan dunia. Video viral kota ‘Zombie’ Kensington, Philadelphia, Amerika Serikat adalah satu dari ribuan wajah buruk penyalahguna yang tidak tertangani dengan baik.
Kanal youtube AJ+ misalnya, dengan sangat deskriptif memaparkan peredaran narkoba heroin di kota besar Dar el Salam, Tanzania.
Model suntik yang mereka gunakan berimbas sangat buruk terhadap persebaran penyakit ikutan, HIV dan hepatitis.
Anda bisa bayangkan jika 62 persen perempuan pemakai heroin dengan cara injeksi di kota tersebut akan terinfeksi penyakit HIV.
Kompleksitas seperti itu juga terjadi di benua lainnya seperti Eropa dan Asia. Tentu dengan model persoalan yang berbeda-beda. Perlu intervensi negara lebih lanjut agar persoalan tidak semakin runyam.
Pemerintah Amerika Serikat, seperti yang disampaikan Presiden Biden dalam pidato kenegaraannya pada 2023, menyampaikan peningkatan fokus pada gangguan perdagangan obat terlarang.
Pemerintah juga berupaya memperluas akses pencegahan yang berbasis bukti, pengurangan dampak buruk, perawatan, dan pemulihan.
Bahkan, pemerintah juga ingin memastikan setiap penjara di seluruh AS dapat memberikan perawatan untuk gangguan penggunaan zat.
Amerika Serikat yang dikenal keras dalam perang melawan narkoba sadar bahwa penegakan hukum bukan satu-satunya pendekatan yang harus ditempuh. Kini upaya pencegahan dan rehabilitasi mendapat porsi perhatian yang sama.
Apalagi, Amerika Serikat mempunyai sejarah rasis dalam tata aturan pelanggaran kejahatan narkoba sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Anti-Penyalahgunaan Narkoba tahun 1986 yang disahkan di era Presiden Ronald Reagan, penggagas terminologi War on Drugs.
Undang-undang tersebut menetapkan perbedaan hukuman 100: 1 yang diskriminatif secara rasial antara pelanggar kokain jenis crack dan kokain jenis bubuk.
Kepemilikan 5 gram kokain crack, yang kerap digunakan oleh orang Afrika-Amerika, akan berdampak hukuman berupa penjara lima tahun secara otomatis.