Memang, tidak semua caleg melakukan entri poin tersebut. Namun caleg yang semacam ini, caleg gembel. Bukankah kita tahu: mana ada caleg yang gembel?
Dari itu caleg harus mengualarkan uang banyak. Berapa? Riset untuk sebuah kepastian jawabannya belum banyak ditemukan, maka jawabannya masih bersifat duga-duga, hingga angka miliaran rupiah.
Pada Pemilu 2024, diperkirakan akan terjadi pengeluaran uang yang besar dalam politik yang didominasi oleh keramaian. Namun, ada bahaya politik yang tersembunyi di balik fenomena ini yang di dalam pengeluaran dana politik itu –ada dana gelap.
Ironisnya, “alat” pendeteksian dana gelap politik itu bernama peraturan perundang-undang tidak ada. Undang Undang (UU) Partai Politik (Parpol) dan UU Pemilu, belum—atau lupa—mengaturnya.
Titi Anggraini, seorang aktivis pro-demokrasi yang juga punya perhatian mendalam terhadap konteks pengeluaran uang politik, menyampaikan pandangan yang kritis adanya ruang gelap dana politik.
Tragisnya bahwa hal ini tidak dapat dijangkau oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), karena belum diatur dalam UU Partai Politik (Parpol) dan UU Pemilu.
Akibatnya, setidaknya ada sejumlah caleg atau pun partai politik terus sibuk dengan fokus pada kepentingan sosial atau masyarakat, justru mengeluarkan dana politik semakin meningkat. Kesibukan ini bisa bernama kegiatan sosialiasi, atau kampanye secara halus.
Dan ini, secara tak langsung, sudah memakai dana jor-joran. Aktivitas elektoral ini pun makin menderu, tapi pelaporan akuntabilitasnya baru bisa dijangkau oleh KPU dan Bawaslu pada masa kampanye, yakni 28 Oktober 2023.
Jika kita membahas politik secara keseluruhan, pertanyaan muncul mengenai apakah lembaga seperti KPU dan Bawaslu punya keberanian pengawasan “mencegat” dana gelap dalam politik?
Bagaimanapun pemilu tanpa pengawasan pendanaan politik, ujung-ujungnya berpotensi penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan ketidakadilan dalam proses politik.
Kandidat atau partai politik yang memiliki akses ke dana yang melimpah dapat memanfaatkannya untuk memenangkan pemilu dengan cara yang tidak sah, seperti suap atau manipulasi.
Begitu pula kandidat atau partai politik dengan sumber daya finansial yang lebih besar, tanpa pengawasan pencegatan, justru membuka peluang ketimpangan kompetisi politik.
Hal ini dapat mengakibatkan ketidaksetaraan dalam akses terhadap media, kampanye yang efektif, atau sumber daya lainnya.
Akibatnya, pemilih mungkin tidak mendapatkan informasi yang seimbang mengenai berbagai pilihan yang tersedia.
Kemudian datang tragedi ketika pemilu yang tidak diawasi arus dana politik, antara lain adalah: kandidat atau partai politik dapat menjadi terlalu tergantung pada sumbangan atau dukungan dari kelompok-kelompok kepentingan khusus.